periskop.id - Kepercayaan publik terhadap lembaga negara adalah fondasi penting dalam demokrasi. Jika warga mulai ragu terhadap representasi, hukum, dan pengawasan, itu bisa menjadi bahaya sistemik.
Survei terbaru Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 20–27 Oktober 2025 menunjukkan fenomena yang cukup mengkhawatirkan, terdapat delapan lembaga penting negara berada di zona krisis kepercayaan.
Juara satu lembaga yang paling tidak dipercaya publik adalah DPR dengan 41% responden menyatakan “tidak percaya”.
Angka-angka serupa juga tercatat untuk institusi lain, seperti Kepolisian (31%), Partai Politik (30%), MPR (29%), KPK (29%), DPD (28%), Pengadilan (21%), dan Mahkamah Konstitusi (18%).
Mari kita telusuri lebih dalam, mengapa kepercayaan publik anjlok di lembaga-lembaga ini, apa dampaknya, dan apakah masih ada harapan pemulihan.
1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) jadi sorotan utama. Survei Indikator mencatat bahwa 41% responden tidak percaya terhadap DPR, jumlah yang sangat signifikan.
Mengapa begitu banyak publik yang ragu? Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi, menyebut bahwa rendahnya kepercayaan ini mencerminkan kegagalan DPR mengartikulasikan aspirasi warga dengan baik dan menjaganya dalam kebijakan nyata.
Kritik lain yang terus muncul adalah persepsi bahwa DPR lebih sering menjadi “tukang stempel” kebijakan eksekutif, bukan lembaga yang mengontrol dan menyaring aspirasi publik secara mandiri.
Lebih dari itu, analisis akademis juga mencatat keraguan publik terhadap kinerja legislatif DPR, sebagian warga mempertanyakan apakah DPR benar-benar mampu membuat regulasi yang bermakna dan bermanfaat, bukan sekadar menjadi pembuat undang-undang yang tak punya hasil nyata.
Kombinasi faktor-faktor tersebut membentuk alasan kuat mengapa sebagian publik tidak sepenuhnya percaya kepada DPR.
2. Kepolisian
Kepolisian (Polri) memang kerap disorot dalam survei soal kepercayaan publik, sebanyak 31% responden tidak mempercayai lembaga kepolisian.
Kepercayaan publik terhadap kepolisian pernah mengalami guncangan besar, terutama setelah mencuatnya kasus Ferdy Sambo yang menjadi salah satu skandal terbesar dalam sejarah institusi tersebut.
Dampaknya sangat terasa, pada Agustus 2022, tingkat kepercayaan publik merosot hingga menyentuh kisaran 54%, menunjukkan betapa kuatnya efek kasus itu terhadap persepsi masyarakat.
Di tengah situasi tersebut, muncul harapan baru bahwa reformasi internal Polri dapat menjadi titik balik. Publik menunggu perbaikan nyata, mulai dari prosedur yang lebih transparan, penegakan etika, hingga profesionalisme dalam menjalankan tugas.
Keraguan publik terhadap Polri bukan hanya soal tuduhan penyalahgunaan kekuasaan, melainkan campuran antara skandal masa lalu, pertanyaan soal konsistensi penegakan hukum, dan harapan reformasi nyata.
3. Partai Politik
Partai politik menyusul dengan 30% ketidakpercayaan publik. Salah satu akar masalahnya adalah ekspektasi publik yang terlalu tinggi terhadap partai, tetapi kenyataannya banyak elite partai gagal mewujudkannya. Direktur Eksekutif Indikator, Burhanuddin Muhtadi, menyebut bahwa partai politik sering tidak mampu menjalankan fungsi sebagai “penyalur aspirasi”, melainkan lebih dilihat sebagai kendaraan kekuasaan.
Ini diperparah oleh masalah integritas, menurut laporan Dewan Pengawas KPK, standar ganda etika dan korupsi di tubuh parpol jadi penyakit lama yang terus menggerus kepercayaan.
Tak hanya itu, sebagian besar warga tidak merasa “berhubungan secara emosional” dengan partai mana pun. Survei Indikator tahun 2021 menunjukkan bahwa hanya 6,8% masyarakat merasa dekat dengan partai tertentu. Ini artinya, parpol gagal menjadi rumah politik yang membangun ikatan identitas dan jika tidak ada ikatan emosional, sulit bagi publik untuk memberi kepercayaan penuh.
4. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Survei Indikator mencatat bahwa 29% responden tidak percaya terhadap MPR. Salah satu akar penyebab ketidakpercayaan ini adalah fungsi MPR yang dirasa tidak “nyata” oleh publik dalam kehidupan sehari-hari. Meski secara konstitusional MPR punya peranan penting, seperti dalam amandemen UUD atau pemilihan pimpinan negara, tetapi banyak warga merasa bahwa aktivitas lembaga ini jarang berpaut langsung dengan aspirasi publik.
Selain itu, sikap partisan juga menjadi hambatan. Dalam survei Indikator, kepercayaan terhadap MPR dipengaruhi tidak hanya oleh performa lembaga, tetapi juga oleh preferensi politik individu. Karena MPR terdiri dari elit politik parpol, sebagian publik merasakan bahwa aspirasi mereka tidak benar-benar dilindungi secara konstitusional, melainkan dipolitisasi.
5. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Sebanyak 29% responden tidak mempercayai KPK. Publik mulai menaruh keraguan lebih besar terhadap KPK bukan tanpa alasan. Revisi Undang-Undang KPK yang kontroversial dan sejumlah komisioner yang dianggap bermasalah telah menciptakan anggapan bahwa independensi lembaga antikorupsi ini sedang “dikerdilkan”, menurut ICW.
Selain itu, survei Indikator mencatat bahwa mayoritas responden percaya bahwa ada tuduhan pemerasan oleh pimpinan KPK masa lalu (Firli Bahuri) yang memperparah citra lembaga. Masalah-masalah internal seperti pelanggaran etika juga semakin mencuat, seperti yang dilaporkan Transparency International.
Data-data ini menunjukkan bahwa krisis kepercayaan terhadap KPK sebagian besar bersumber dari aspek struktural dan integritas, bukan sekadar opininya semata.
6. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Sementara itu, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) juga menghadapi tantangan besar dari segi kepercayaan publik. Indikator mencatat bahwa sekitar 28% responden tidak percaya terhadap DPD.
Mengapa begitu? Salah satu kritik paling mendasar adalah soal kewenangan legislatif DPD yang terbatas. Berdasarkan kajian UIN Sunan Kalijaga, publik menganggap wewenang DPD sebagai “usulan semata” DPD tidak bisa membuat UU sendiri, melainkan hanya memberikan pertimbangan atau rekomendasi. Akibatnya, suara senator daerah ini kerap dilihat sebagai simbolis, bukan sebagai kekuatan nyata dalam proses legislasi nasional.
Persepsi ini diperparah oleh pandangan bahwa efektivitas DPD rendah karena keterbatasan kewenangan, sebagian masyarakat meragukan apakah DPD benar-benar bisa memperjuangkan aspirasi daerah secara efektif.
7. Pengadilan
Meskipun pengadilan adalah pilar keadilan dalam sistem hukum, tidak sedikit masyarakat yang meragukannya. Survei Indikator mencatat 21% responden menyatakan tidak percaya kepada lembaga tersebut.
Ketidakpercayaan ini bisa datang dari sejumlah masalah, mulai dari putusan yang dipandang tidak adil atau tidak transparan, proses peradilan yang rumit, dan ketidakpastian akses bagi publik biasa untuk memahami proses hukum.
Alasan lainnya adalah persepsi bahwa lembaga lain, seperti Kejaksaan Agung jauh lebih kredibel. Survei Indikator (2023) menemukan bahwa Kejaksaan menduduki posisi lembaga hukum paling dipercaya.
8. Mahkamah Konstitusi (MK)
Sebesar 18% publik menunjukkan keraguan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK).
Keraguan publik semakin diperkuat oleh isu revisi UU MK yang dinilai dapat melemahkan independensi hakim konstitusi. Kritik datang dari sejumlah tokoh hukum. Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva menyebut revisi tersebut sebagai “ancaman serius bagi negara hukum,” sementara Mahfud MD menilai aturan masa jabatan baru dalam revisi itu “tidak adil” dan berpotensi mengganggu kebebasan hakim.
Kekhawatiran utama publik berkaitan dengan sifat putusan MK yang sangat strategis, mulai dari uji materi UU hingga sengketa hasil pemilu. Jika prosesnya dianggap tidak transparan atau terlalu politis, legitimasi lembaga ini otomatis terpengaruh.
Kepercayaan Publik Bisa Pulih, tetapi Perlu Bukti Nyata
Krisis kepercayaan terhadap delapan lembaga negara ini bukan sekadar deretan angka survei, ini adalah alarm peringatan bagi kualitas demokrasi kita. Ketika warga mulai ragu pada para wakilnya, aparat penegak hukum, hingga lembaga konstitusi, maka ruang publik dipenuhi kecurigaan, bukan harapan.
Namun, krisis ini bukan akhir. Kepercayaan publik memang sulit dibangun, tetapi bukan mustahil dipulihkan. Semua lembaga yang terpuruk ini masih punya peluang memperbaiki diri melalui transparansi, akuntabilitas, dan keberanian untuk berubah.
Pada akhirnya, demokrasi hanya bisa berjalan sehat jika lembaga negara bekerja bukan hanya untuk kekuasaan, tetapi untuk publik yang memberi mereka mandat. Selama komitmen pada integritas dan pelayanan publik terus diperjuangkan, selalu ada jalan untuk mengembalikan kepercayaan yang hilang.
Tinggalkan Komentar
Komentar