periskop.idPernahkah Anda mendengar istilah discouraged workers? Istilah ini bukan sekadar orang yang sedang malas mencari kerja. Mereka adalah individu yang sebenarnya ingin bekerja, tetapi telah berhenti aktif mencari karena merasa yakin bahwa peluang kerja tidak ada berdasarkan pengalaman mereka sebelum-sebelumnya.

Lembaga Penelitian di bidang Ekonomi dan Sosial Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) dalam laporan terbarunya, Membaca Sinyal Putus Asa di Pasar Kerja Indonesia pada November 2025 membunyikan alarm keras. Ketika kita merayakan penurunan angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), terjadi pergeseran yang jauh lebih mengkhawatirkan, yaitu lonjakan tajam pada jumlah pekerja putus asa. 

Jumlah ini meningkat dari 1,68 juta jiwa pada periode sebelumnya menjadi 1,87 juta jiwa pada Februari 2025. Kenaikan 11% ini adalah sinyal psikologis-ekonomi yang harus kita tanggapi serius. Laporan ini secara gamblang menunjukkan bahwa krisis pasar kerja kita kini bukan hanya masalah kuantitas, tetapi masalah harapan.

Bagaimana mungkin, di tengah pertumbuhan ekonomi, jutaan jiwa justru merasa putus asa? Mari kita bedah lebih dalam mengenai anatomi keputusasaan ini dan apa implikasinya bagi masa depan Indonesia.

Dari Lamaran Tidak Terjawab hingga Hilangnya Harapan

Fenomena discouraged workers terjadi ketika seseorang berhenti mencari pekerjaan karena merasa usahanya selalu berakhir sia-sia. Kondisi ini berkaitan dengan proses psikologis yang disebut learned helplessness, yaitu perasaan tidak berdaya yang terbentuk karena kegagalan berulang. 

Bayangkan seseorang sudah mengirim puluhan, bahkan ratusan lamaran kerja, tetapi terus ditolak atau tidak pernah mendapat jawaban. Lama-kelamaan, pengalaman ini mengikis rasa percaya diri dan keyakinan bahwa usahanya bisa membuahkan hasil. Akhirnya, ia berhenti mencoba, bukan karena tidak ingin bekerja, melainkan karena merasa apa pun yang dilakukan tidak akan mengubah keadaan.

Laporan LPEM FEB UI menambahkan sisi sosial yang penting. Meskipun rasa putus asa bisa dialami siapa saja, tekanan sosial dan norma gender membuat laki-laki lebih rentan menjadi discouraged workers. Di banyak budaya di Indonesia, laki-laki masih dipandang sebagai pencari nafkah utama. Ketika berulang kali gagal mendapatkan pekerjaan, dampaknya bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga menyangkut harga diri dan perasaan gagal memenuhi harapan keluarga dan masyarakat. Tekanan ini dapat mengubah kekecewaan menjadi kepasrahan yang mendalam. 

45 Ribu Sarjana Menyerah: Ada yang Salah dengan Dunia Kerja Kita

Sering kali kita mengira masalah pekerjaan putus asa hanya terjadi pada kelompok berpendidikan rendah. Memang benar, berdasarkan laporan LPEM, sekitar 50,07% dari discouraged workers berlatar belakang pendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah. Mereka menghadapi hambatan struktural yang jelas, seperti keterbatasan keterampilan dan akses informasi. Namun, hal yang paling mengejutkan dan menjadi sinyal kritis adalah temuan pada kelompok berpendidikan tinggi.

Bayangkan, setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit, ada lebih dari 45.000 lulusan S1 yang kini putus asa dan berhenti mencari kerja. Bahkan, data menunjukkan ada lebih dari 6.000 lulusan S2 dan S3 yang berada dalam kategori ini. Angka-angka ini adalah ironi yang menyakitkan. Jika pendidikan tinggi yang sering kita anggap sebagai “tiket emas” menuju kemakmuran tidak lagi menjamin harapan, lalu apa yang salah?

Fenomena ini menyoroti masalah skill mismatch dan krisis pekerjaan berkualitas. Para lulusan ini mungkin menolak pekerjaan berproduktivitas rendah atau bergaji kecil yang tersedia karena tidak sesuai dengan tingkat pendidikan dan ekspektasi mereka. Di sisi lain, pasar kerja Indonesia, seperti yang ditunjukkan laporan tersebut, masih didominasi oleh pekerjaan yang berkutat di sektor berproduktivitas rendah. Artinya, pasar tidak mampu menyerap atau menciptakan posisi yang layak dan menantang bagi para sarjana. Ketika supply tenaga kerja berpendidikan tinggi tidak bertemu dengan demand pekerjaan berkualitas, hilangnya kepercayaan pun menjadi keniscayaan.

Pengangguran Turun, tapi Ada yang Lebih Mengkhawatirkan

Meningkatnya jumlah pekerja putus asa sebenarnya menjadi tanda awal bahwa pasar kerja di Indonesia sedang tidak sehat. Mereka yang sudah menyerah mencari pekerjaan ini tidak lagi tercatat sebagai pengangguran dalam data resmi sehingga angka pengangguran tampak seolah aman. Padahal, mereka adalah tenaga kerja yang menghilang dari sistem, meski masih memiliki kemampuan dan potensi besar. Akibatnya, mereka tidak bekerja, tidak menghasilkan, dan tidak ikut mendorong pertumbuhan ekonomi.

Laporan LPEM FEB UI secara tidak langsung mengingatkan bahwa kondisi ini bisa berdampak besar bagi perekonomian nasional. Saat ini, Indonesia sedang menikmati bonus demografi, yaitu ketika jumlah penduduk usia produktif berada di titik tertinggi. Namun, keunggulan ini menjadi tidak berarti jika jutaan orang justru memilih berhenti berusaha karena putus asa. Setiap orang yang menyerah adalah hilangnya potensi produktivitas yang pelan-pelan melemahkan daya saing bangsa. Jika dibiarkan, bonus demografi bisa berubah menjadi masalah sosial dan ekonomi yang serius.

Oleh karena itu, pemerintah dan semua pihak terkait perlu mengubah fokus. Bukan hanya memperbanyak jumlah lapangan kerja, tetapi juga memastikan kualitas dan kesesuaiannya. Langkah ini mencakup pengembangan sektor-sektor yang produktif, perbaikan layanan penempatan kerja agar lebih efektif, serta pelatihan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Mengatasi masalah pekerja putus asa berarti mengembalikan harapan dan kepercayaan jutaan orang terhadap masa depan ekonomi Indonesia.