periskop.id - Pernahkah terbayang di benak Anda, bagaimana rasanya menjadi bagian dari generasi Z yang hidup di era serbacepat, tuntutan gaya hidup tinggi, dan bayang-bayang sandwich generation, tetapi dihadapkan pada pilihan karier dengan gaji di bawah harga segelas kopi kekinian?
Dilema inilah yang sedang terjadi di dunia pendidikan kita. Profesi guru yang selama puluhan tahun diagungkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, kini seolah kehilangan pesonanya di mata anak muda. Bukan karena mereka tidak peduli pada pendidikan, melainkan karena mereka cukup realistis melihat masa depan.
Alarm Bahaya: Hanya 11% yang Berminat
Data terbaru yang dirilis oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) cukup menampar realita kita. Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi mengungkapkan fakta yang mengkhawatirkan bahwa hanya 11% anak muda yang tertarik menjadi guru.
Yang lebih menyedihkan, angka 11% itu pun tidak sepenuhnya didasari oleh passion atau panggilan jiwa. Unifah menyebutkan bahwa sebagian besar dari mereka yang berminat pun alasannya karena keterpaksaan atau tidak adanya pilihan profesi lain yang bisa diambil.
Mengapa minat ini terjun bebas? Jawabannya sederhana, yaitu karena ketidakpastian. Anak muda hari ini melihat bahwa menjadi guru, terutama guru honorer adalah jalan sunyi yang menjanjikan pengabdian, tetapi belum tentu menjanjikan kesejahteraan.
Realita Pahit: Viral Gaji Rp66.000
Jika statistik di atas terdengar terlalu abstrak, mari kita lihat bukti nyatanya di lapangan. Pada pertengahan November 2025, jagat media sosial diramaikan oleh unggahan akun Threads Instagram @akangguru yang membagikan foto slip gaji seorang guru honorer.
Angka yang tertera di sana sukses membuat netizen, khususnya gen Z mengelus dada. Sang guru menerima total pendapatan bersih (take home pay) hanya sebesar Rp66.000 untuk satu bulan kerja.
Bagaimana perhitungannya? Sebenarnya, honor kotor yang diterima adalah Rp516.000. Angka ini didapat dari akumulasi 15 jam mengajar dengan tarif Rp20.000 per jam, ditambah uang transportasi. Namun, setelah dipotong cicilan koperasi, sisa uang yang bisa dibawa pulang untuk menyambung hidup selama 30 hari hanyalah puluhan ribu rupiah tersebut.
Kasus ini menjadi viral bukan hanya karena nominalnya yang kecil, tetapi karena ini adalah bukti valid betapa rentannya kondisi finansial para pendidik kita. Bagi gen Z yang sangat melek finansial, melihat slip gaji semacam ini tentu menjadi lampu merah besar untuk melangkah ke profesi tersebut.
Akar Masalah: Warisan Kebijakan Masa Lalu
Tentu tidak adil jika kita hanya menyalahkan sekolah atau yayasan semata. Pengamat pendidikan Doni Kusuma menilai bahwa carut-marut ini adalah dampak panjang dari kebijakan pemerintah di masa lalu.
Doni menjelaskan bahwa keberadaan guru honorer dengan upah tidak layak ini merupakan akibat langsung dari moratorium (penghentian sementara) pengangkatan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berlangsung hampir dua dekade. Kekosongan tenaga pengajar di sekolah-sekolah diisi oleh tenaga honorer, tetapi tanpa jaminan kesejahteraan yang memadai dari negara.
Pemerintah bukannya diam saja. Presiden Prabowo Subianto pada peringatan Hari Guru Nasional 2024 sempat menyatakan bahwa anggaran kesejahteraan guru tahun 2025 dinaikkan menjadi Rp81,6 triliun. Direktur Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru (Dirjen GTKPG) di lingkungan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Profesor Nunuk Suryani, juga menegaskan bahwa tunjangan kini disalurkan langsung ke rekening guru untuk memangkas birokrasi.
Namun, realisasi di lapangan sering kali tak seindah pidato di mimbar. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, MY Esti Wijayanti, menyoroti bahwa alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk gaji honorer di sekolah negeri dibatasi hanya 20% dan sekolah swasta maksimal 40%. Akibatnya, banyak guru yang gajinya jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR), terutama mereka yang mengabdi di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Pemerintah perlu bergerak lebih taktis. Wacana Revisi Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang disuarakan legislatif untuk menjamin gaji guru minimal setara UMR harus segera disahkan. Selain itu, penyelesaian status honorer melalui mekanisme Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) harus dituntaskan tanpa menyisakan masalah baru. Kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan rasa kasihan atau sukarela untuk mengisi ruang-ruang kelas anak bangsa. Pendidikan adalah investasi dan guru adalah aset utamanya.
Tinggalkan Komentar
Komentar