periskop.id - Saat membahas pasar kerja, perhatian kita sering tertuju pada jumlah lowongan atau besaran gaji. Padahal, ada hal yang tidak kalah penting, yaitu harapan orang-orang yang mencari kerja.

Laporan Lembaga Penelitian di bidang Ekonomi dan Sosial Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) pada November 2025 mencatat lonjakan besar jumlah discouraged workers di Indonesia hingga 1,87 juta orang. Mereka adalah individu yang sebenarnya ingin bekerja, tetapi berhenti mencari karena merasa peluang kerja sudah tertutup. Di balik angka ini, ada persoalan yang jarang disorot, yakni peran gender dalam membuat seseorang lebih mudah merasa putus asa.

Selama ini, banyak yang mengira tekanan mencari kerja dirasakan sama oleh semua orang. Namun, temuan LPEM menunjukkan hal berbeda. Laki-laki menyumbang sekitar dua per tiga dari total, sementara perempuan hanya sepertiga. Norma sosial dan peran gender tradisional justru membuat laki-laki lebih rentan merasa gagal ketika berulang kali tidak berhasil mendapatkan pekerjaan. 

Dalam kondisi pasar kerja yang sulit, identitas sebagai pencari nafkah utama bisa berubah menjadi beban psikologis yang berat. Di sinilah kita perlu memahami lebih jauh, mengapa isu maskulinitas berkaitan erat dengan kerentanan di dunia kerja.

Mengapa Laki-Laki Lebih Rentan Putus Asa Mencari Kerja?

Banyaknya laki-laki dalam kelompok pekerja putus asa menjadi tanda kuat bahwa rasa putus asa dalam mencari kerja paling berat dirasakan oleh mereka yang secara sosial diharapkan menjadi pencari nafkah utama.

Dalam kehidupan sosial, laki-laki masih sering dibebani peran sebagai penanggung jawab ekonomi keluarga. Norma gender seperti ini membuat posisi mereka menjadi sangat rentan. Ketika seorang laki-laki berulang kali gagal mendapatkan pekerjaan, dampaknya tidak hanya terasa pada kondisi keuangan, tetapi juga pada jati diri dan posisi sosialnya. Ketidakmampuan menafkahi keluarga kerap dipandang sebagai kegagalan menjalankan peran.

Tekanan inilah yang mendorong laki-laki untuk terus berusaha masuk ke pasar kerja. Namun, saat usaha tersebut berulang kali berakhir dengan kegagalan, rasa putus asa yang muncul menjadi sangat kuat dan menekan secara mental. Hal ini sejalan dengan temuan International Labour Organization (ILO) di sejumlah negara berkembang yang menunjukkan bahwa beban peran sosial membuat keputusasaan laki-laki dalam mencari kerja terasa lebih langsung dan mendalam.

Sektor Konstruksi dan Manufaktur Melemah, Laki-Laki Paling Terpukul

Rasa putus asa ini semakin berat karena kondisi nyata di lapangan. Banyak pekerja laki-laki bergantung pada sektor-sektor ekonomi yang sedang melambat atau bahkan menyusut.

Di Indonesia, sektor dengan kebutuhan keterampilan rendah, seperti konstruksi dan sebagian industri manufaktur, selama ini menjadi pilihan utama bagi tenaga kerja laki-laki. Namun, sektor-sektor tersebut sangat bergantung pada naik-turunnya permintaan. Ketika proyek berkurang atau produksi menurun, peluang kerja ikut menyempit.

Situasi ini diperparah oleh upah yang cenderung stagnan dan persaingan yang semakin ketat. Akibatnya, banyak laki-laki merasa kesempatan kerja yang benar-benar bisa mereka raih semakin sedikit.

Pada akhirnya, laki-laki berada dalam posisi serba sulit. Di satu sisi, mereka dituntut secara sosial untuk menjadi pencari nafkah. Di sisi lain, keterampilan yang dimiliki sering kali tidak lagi sesuai dengan arah perubahan ekonomi, terutama di sektor-sektor yang paling rentan.

Beban Domestik dan Diskriminasi: Tembok Penghalang Perempuan Bekerja

Meskipun porsi perempuan yang putus asa lebih kecil (31%), fenomena ini tidak kalah penting untuk diperhatikan. Mekanisme keputusasaan pada perempuan berbeda, cenderung lebih bersifat struktural.

Berbeda dengan laki-laki, faktor discouragement pada perempuan sering bersinggungan dengan keterbatasan struktural yang sudah lama terbentuk, seperti:

  1. Hambatan Domestik: Kurangnya dukungan pengasuhan dan norma sosial mengenai peran domestik membatasi ketersediaan waktu untuk mencari pekerjaan secara intensif.
  2. Diskriminasi Struktural: Adanya diskriminasi usia atau status perkawinan dalam rekrutmen.

Bank Dunia mencatat bahwa perempuan di Indonesia menghadapi kesulitan lebih besar saat beralih dari dunia pendidikan ke dunia kerja. Salah satu penyebab utamanya adalah terbatasnya pekerjaan formal yang ramah terhadap perempuan. Dalam situasi seperti ini, kegagalan yang terjadi berulang kali bisa mendorong perempuan yang sebenarnya ingin bekerja untuk akhirnya menyerah.

Dengan kata lain, keputusasaan pada perempuan bukan muncul karena kurangnya niat atau semangat, melainkan karena terlalu banyak hambatan struktural yang menghalangi mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

Laki-Laki Tertekan, Perempuan Terhalang: Sinyal Penting dari Pasar Kerja

Perbedaan gender ini menunjukkan bahwa keputusasaan bukan sekadar refleksi pasar kerja yang sulit, tetapi juga hasil dari interaksi antara norma sosial (yang membebani laki-laki) dan struktur kesempatan (yang menghalangi perempuan).

Oleh karena itu, intervensi kebijakan tidak boleh bersifat netral gender, berlaku sama untuk semua. Kebijakan harus secara spesifik menargetkan akar masalah yang berbeda:

  1. Bagi Laki-Laki: Kebijakan perlu difokuskan pada peningkatan keterampilan yang benar-benar dibutuhkan di industri masa depan. Selain itu, akses terhadap informasi pasar kerja yang akurat juga penting agar mereka bisa berpindah dari sektor-sektor yang stagnan ke sektor yang lebih menjanjikan.
  2. Bagi Perempuan: Kebijakan perlu menekankan dukungan transisi ke dunia kerja yang ramah terhadap kebutuhan pengasuhan. Di saat yang sama, praktik diskriminasi berdasarkan usia dan status perkawinan dalam proses rekrutmen harus diberantas secara serius.

Memahami sinyal keputusasaan ini adalah langkah awal untuk membangun pasar kerja yang lebih adil. Sudah saatnya solusi dirancang secara tepat sasaran agar tidak ada lagi orang yang merasa harus menyerah pada harapan mendapatkan pekerjaan di Indonesia.