periskop.id - Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Saleh Husin, menyoroti maraknya pakaian bekas impor ilegal yang masuk ke pasar domestik. Menurutnya, hal itu sangat mengancam keberlangsungan industri dalam negeri, terutama pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

“Tentu ini kan sangat-sangat memukul industri kita di dalam negeri. Terutama para UMKM yang ada di berbagai daerah,” ujar Saleh dalam keterangannya, Senin (1/12).

Saleh menilai persoalan ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah. Saleh mengungkapkan bahwa ia telah berdiskusi dengan berbagai pihak di sektor perindustrian untuk mendorong pengawasan yang lebih ketat terhadap arus masuk pakaian bekas impor.

Ia juga menekankan pentingnya penjagaan baik di pelabuhan resmi maupun pelabuhan tidak resmi, yang kerap disebut “pelabuhan tikus”.

“Pengawasan terhadap masuknya produk-produk tersebut harus ditingkatkan, terutama melalui pelabuhan-pelabuhan. Itu yang harus ditindaklanjuti, dan tindakannya harus memberikan efek jera,” tegas Saleh.

Saleh menambahkan, peredaran pakaian bekas ilegal tidak hanya menggerus omzet pedagang lokal, tetapi juga mengancam ribuan tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya pada sektor tersebut.

“Contohnya di Tanah Abang, jangan sampai pedagang kita mati tergerus oleh pakaian-pakaian bekas itu. Jumlah tenaga kerja yang terlibat juga cukup besar,” katanya.

Selain tekanan dari pakaian bekas impor, Saleh turut menyoroti persoalan energi yang membebani industri nasional. Saleh menjelaskan bahwa meski pemerintah telah menetapkan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar 7 dolar AS per MMBtu, realisasi di lapangan belum sepenuhnya sesuai.

“Yang disuplai ke industri itu hanya 60% dengan harga HGBT. Sisanya 40% pelaku usaha harus membeli dengan harga pasaran sekitar 16,77 dolar AS,” ujarnya.

Kondisi ini, menurut Saleh, membuat daya saing produk Indonesia semakin tertinggal dari negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Saleh menekankan pentingnya konsistensi pasokan gas sesuai ketetapan pemerintah agar industri dalam negeri tetap kompetitif.

“Suplai yang ditetapkan pemerintah sesuai HGBT itu harus benar-benar disuplai 100%, sehingga industri kita mempunyai daya saing,” tutup Saleh.