periskop.id - Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama (Kemeneag) memberikan perhatian serius terhadap maraknya promosi jasa nikah siri di berbagai platform media sosial belakangan ini. Kemenag menilai praktik tersebut berpotensi memicu masalah keagamaan, sosial, hingga hukum yang merugikan masyarakat, khususnya perempuan dan anak.

"Pencatatan perkawinan bukan sekadar administrasi, tetapi merupakan instrumen perlindungan hukum bagi seluruh pihak,” ujar Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kemenag Ahmad Zayadi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (25/11).

Ahmad menjelaskan kerangka hukum nasional telah mengatur secara tegas mengenai keabsahan pernikahan. Sahnya sebuah perkawinan tidak hanya ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat agama.

Perkawinan wajib melalui proses pencatatan resmi oleh negara. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diperbarui melalui UU Nomor 16 Tahun 2019.

Pencatatan perkawinan memegang peran vital dalam menjamin kepastian hak dan kewajiban bagi pasangan suami-istri. Lebih dari itu, pencatatan memberikan perlindungan hukum bagi anak.

Tanpa adanya pengesahan negara, berbagai aspek hukum tidak dapat diberlakukan. Hak nafkah, pewarisan, hingga status hukum anak menjadi tidak jelas dan tidak terlindungi.

"Perkawinan yang tidak dicatat tidak akan mendapatkan buku nikah, sehingga seluruh proses hukum terkait keluarga tidak dapat diproses secara resmi," tegas Ahmad.

Masyarakat diminta memahami konsekuensi fatal dari nikah siri. Tanpa buku nikah, seluruh hak sipil yang melekat pada dokumen tersebut otomatis tidak dapat diperoleh.

Secara teknis, PP Nomor 9 Tahun 1975 serta PMA Nomor 30 Tahun 2024 menetapkan setiap akad nikah harus dilaksanakan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau penghulu.

Pengawasan ketat ini meliputi pengecekan identitas calon pengantin, kecukupan usia, status perkawinan, keabsahan wali, serta pemenuhan syarat saksi.

Ahmad menyoroti jasa nikah siri komersial di media sosial seringkali mengabaikan prosedur verifikasi tersebut. Ketiadaan verifikasi wali dan pemeriksaan usia membuat praktik ini sangat rawan.

Dampak buruknya sangat luas, mulai dari sengketa rumah tangga, penelantaran, poligami liar, hingga potensi eksploitasi manusia.

"Ini bukan sekadar risiko administratif, tetapi juga risiko kemanusiaan,” tuturnya.

Kemenag menegaskan layanan nikah siri digital yang bersifat transaksional melanggar prinsip mitsaqan ghalizha (perjanjian agung). Praktik ini tidak dapat dibenarkan, baik secara agama maupun hukum negara.