periskop.id - Pernahkah Anda membayangkan sebuah ironi visual yang begitu kontras? Di satu sisi layar, seorang pemimpin sedang khusyuk memanjatkan doa di depan Ka’bah, mengenakan kain ihram putih bersih. Namun, di sisi layar lainnya, di waktu yang bersamaan, ribuan rakyat yang dipimpinnya sedang berjibaku dengan lumpur, kehilangan tempat tinggal, dan menanti bantuan di tengah banjir bandang.
Gambaran itulah yang baru-baru ini menyentak kesadaran publik kita. Kasus Bupati Aceh Selatan, Mirwan MS, yang berangkat umrah saat daerahnya berstatus tanggap darurat bencana, bukan sekadar isu politik lokal. Ini adalah cermin besar bagi kita semua tentang bagaimana mendudukkan prioritas antara hubungan dengan Tuhan (Hablum Minallah) dan tanggung jawab sesama manusia (Hablum Minannas).
Ketika Sunah Mengalahkan yang Wajib
Secara kronologis, kita tahu bahwa Bupati Mirwan berangkat pada 2 Desember 2025. Padahal, saat itu banjir bandang dan tanah longsor sedang meluluhlantakkan belasan kecamatan di wilayahnya. Di sinilah letak paradoks utamanya.
Dalam kacamata Islam, menyelamatkan nyawa manusia itu hukumnya wajib (tak bisa ditawar). Sedangkan umrah, apalagi jika sudah pernah, hukumnya adalah sunah. Memprioritaskan yang sunah di atas yang wajib adalah sebuah kekeliruan besar.
Logika sederhananya begini, jika Anda adalah seorang kapten kapal, dan kapal Anda bocor di tengah badai, apakah Anda akan tetap di anjungan untuk memimpin penyelamatan penumpang, atau Anda memilih naik sekoci duluan untuk berdoa di pulau seberang?
Doa itu penting, tentu saja. Namun, Tuhan memberikan akal dan amanah jabatan bukan untuk ditinggalkan saat ujian datang. Dalam kaidah Ushul Fiqih dikenal prinsip “Dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalbi al-mashalih” yang artinya ‘menolak kerusakan atau bahaya harus didahulukan daripada mengambil kemanfaatan’.
Menolong korban banjir adalah upaya menolak bahaya (kerusakan). Sementara pergi umrah adalah upaya mengejar manfaat (pahala). Ketika seorang pemimpin memilih mengejar pahala pribadi dan meninggalkan warganya dalam bahaya, sadar atau tidak, ia telah kehilangan arah dalam memimpin.
Kirim Surat “Nyerah” Lalu Pergi Umrah: Potret Pemimpin yang “Cuci Tangan”?
Kasus ini menjadi semakin riuh ketika Presiden Prabowo Subianto menggunakan istilah militer yang sangat keras, yaitu desersi.
Dalam dunia militer, desersi adalah tindakan pengecut, yaitu lari dari tugas saat perang. Presiden menyamakan bencana alam dengan situasi perang. Ketika panglima perangnya (Kepala Daerah) pergi saat rakyat diserang bencana, itu adalah pengkhianatan terhadap sumpah jabatan.
Yang lebih mengejutkan, terungkap fakta bahwa sebelum berangkat, Bupati sempat mengirim surat resmi yang menyatakan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan "tidak sanggup" menangani bencana dan meminta bantuan provinsi/pusat.
Ditambah lagi, Gubernur Aceh, Mualem, menegaskan tidak pernah memberi izin keberangkatan itu. Jadi, sudahlah kirim surat menyerah, perginya pun tanpa restu. Rasanya seperti mau “cuci tangan” dari masalah, padahal tangannya belum sempat kotor bekerja membantu rakyat.
Reaksi publik dan pemerintah pusat juga tidak main-main. Kita melihat dampaknya yang instan:
- Sanksi Politik: Partai Gerindra langsung mencopot Mirwan MS dari jabatannya sebagai Ketua DPC Aceh Selatan.
- Sanksi Moral: Setibanya di tanah air, ia harus melakukan permintaan maaf terbuka kepada seluruh rakyat Indonesia, khususnya warga Aceh Selatan.
Apakah permintaan maaf cukup? Bagi korban yang rumahnya hanyut atau keluarganya menderita di pengungsian saat pemimpinnya tidak ada, luka itu mungkin butuh waktu lama untuk sembuh. Namun, langkah tegas dari pemerintah pusat patut diapresiasi sebagai shock therapy bagi kepala daerah lain agar tidak main-main dengan amanah.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menyalahkan niat ibadah seseorang. Tapi ingat, begitu seseorang disumpah menjadi pejabat publik, hidup dan waktunya sejatinya sudah diwakafkan untuk rakyat.
Pelajaran mahalnya adalah kesalehan itu bukan cuma soal rajin ke masjid, tapi juga peduli pada sesama. Tuhan tidak hanya “hadir” di Masjidil Haram. Dia juga ada di gubuk-gubuk pengungsian, menyaksikan langsung bagaimana seorang pemimpin memperlakukan warganya yang sedang menderita.
Makkah bisa dikunjungi lain waktu, umrah pun bisa ditunda. Namun, nyawa yang terancam dan warga yang menuntut pertolongan sekarang, perlu dibantu detik ini juga.
Tinggalkan Komentar
Komentar