periskop.id - Sebelum perdebatan melebar ke mana-mana, satu hal perlu diluruskan, yaitu kebijakan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) ini bukan upaya mematikan internet bagi anak-anak. Akses internet sebagai sumber belajar, mulai dari mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR), mencari referensi, hingga belajar coding tetap terbuka. Hal yang diatur secara ketat adalah kepemilikan akun media sosial.
Kebijakan ini menandai pergeseran paradigma besar. Jika sebelumnya anak bisa dengan mudah membuat akun hanya dengan memalsukan tahun lahir, kini celah itu dipersempit lewat sejumlah mekanisme baru. Pertama, verifikasi usia yang lebih ketat, yaitu platform digital diwajibkan memastikan penggunanya benar-benar berusia di atas 16 tahun.
Kedua, pelibatan orang tua. Akun remaja masih mungkin diizinkan, tetapi harus terhubung dengan akun orang tua sebagai pengawas. Ketiga, penegasan tanggung jawab platform sehingga perusahaan teknologi tidak bisa lagi lepas tangan ketika anak di bawah umur terpapar konten berbahaya.
Membatasi Medsos Anak: Solusi Psikologis atau Masalah Baru?
Bagi anak, kebijakan ini ibarat dua sisi mata uang. Dari sisi positif, pembatasan akun personal berpotensi menciptakan ruang tumbuh yang lebih tenang secara psikologis.
Data dari Surgeon General menunjukkan bahwa penggunaan media sosial berlebihan pada remaja berkorelasi dengan meningkatnya risiko depresi dan kecemasan. Tanpa tekanan untuk selalu tampil sempurna di ruang publik digital, anak bisa terhindar dari beban validasi semu, sekaligus menurunkan risiko cyberbullying.
Namun, ada pula sisi gelap yang tak bisa diabaikan. Anak-anak hari ini dikenal jauh lebih melek teknologi dibanding generasi sebelumnya. Larangan yang terlalu kaku justru berpotensi melahirkan fenomena “digital ninja” dengan menggunakan Virtual Private Network (VPN), memalsukan identitas, bahkan meminjam data orang tuanya atau merasa terasing karena tertinggal tren yang dibicarakan teman-temannya.
Sementara itu, bagi orang tua, kebijakan ini memindahkan beban terbesar ke rumah. Negara membuat aturan, platform menyediakan alat, tetapi eksekusi harian ada di tangan keluarga.
Orang tua dituntut meningkatkan literasi digital, memahami parental control, algoritma, hingga isu privasi data. Belum lagi kesiapan mental menghadapi konflik dengan anak yang merasa kebebasannya dibatasi.
Padahal, dengan penetrasi internet Indonesia yang telah mencapai 79,5% pada 2024 (APJII), kesenjangan literasi digital antar generasi masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Akankah Kebijakan Ini Efektif Diterapkan?
Efektivitas kebijakan ini tidak bisa dilepaskan dari konsistensi penegakan. Pengalaman negara lain patut menjadi cermin. Australia, misalnya, juga mendorong legislasi ketat terkait pembatasan media sosial bagi anak di bawah 16 tahun, tetapi tantangan utamanya tetap sama, penegakan di lapangan.
Kebijakan Komdigi berisiko menjadi angin lewat jika tidak dibarengi sanksi tegas bagi platform yang melanggar dan edukasi berkelanjutan bagi sekolah dan keluarga. Tanpa dua hal ini, anak-anak akan selalu menemukan celah untuk menghindari aturan.
Pada akhirnya, regulasi ini bukan solusi instan untuk menghapus adiksi gawai. Ia adalah fondasi awal untuk menggeser tanggung jawab keselamatan anak dari sekadar urusan individu menjadi tanggung jawab bersama. Regulasi hanyalah pagar yang mengajarkan cara bermain aman di dalamnya tetaplah orang tua, guru, dan masyarakat.
Tinggalkan Komentar
Komentar