periskop.id - Artificial superintelligence (ASI) kini menjadi topik paling mendebarkan di dunia teknologi. Jika sebelumnya publik hanya akrab dengan ChatGPT, Gemini, Copilot, atau Claude, maka ASI adalah lompatan besar berikutnya, sebuah kecerdasan yang berpotensi melampaui manusia dalam semua bidang, mulai dari strategi, kreativitas, hingga intuisi emosional.
CEO Meta, Mark Zuckerberg, mengangkat istilah “personal superintelligence” dalam wawancaranya bersama The Information pada Juli 2025. Ia menyebutkan bahwa tujuannya adalah menempatkan kekuatan AI langsung di tangan setiap orang. Di mata Meta, kemungkinan besar itu berarti menyematkan ASI dalam perangkat seperti kacamata pintar yang bisa digunakan setiap hari oleh pengguna umum.
Langkah Meta ini memicu perekrutan besar-besaran peneliti AI dan restrukturisasi tim FAIR menjadi Meta AI. Misi mereka jelas: bergerak dari kecerdasan sempit yang kita kenal hari ini menuju artificial general intelligence (AGI), dan kemudian ASI.
Di kalangan ilmuwan AI, ASI diartikan sebagai sistem hipotetis yang mampu mengungguli manusia dalam setiap tugas kognitif.
Filsuf Nick Bostrom melalui bukunya Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (2014) mempopulerkan ide tentang AI yang bisa berkembang sendiri, melampaui kendali manusia, dan menimbulkan konsekuensi serius.
“Banyak dari peringatan saya terbukti cukup tepat,” ujarnya kepada CNET.
Ia kini memfokuskan perhatian pada isu moral, seperti “status digital mind” dan hubungan antara ASI yang dibangun manusia dengan bentuk ASI lainnya, yang ia sebut sebagai “host kosmis.”
Meskipun ASI belum benar-benar eksis, dunia saat ini masih berada pada tahapan artificial narrow intelligence, AI yang hanya unggul dalam satu fungsi spesifik seperti menerjemahkan, meringkas, atau menghasilkan gambar.
Tools seperti Copilot dan ChatGPT berada pada kategori ini. Mereka hebat, tetapi masih terbatas dan belum mampu memahami atau bernalar secara mendalam.
Tahapan berikutnya adalah AGI, kecerdasan umum buatan yang bisa belajar dan bernalar secara fleksibel di berbagai domain.
Berbeda dengan chatbot konvensional, AGI diharapkan mampu menemukan solusi baru, menerapkannya lintas bidang, dan memahami konteks dunia nyata tanpa tergantung sepenuhnya pada data pelatihan. Meski beberapa sistem saat ini mulai menunjukkan ciri-ciri AGI, belum ada yang memenuhi kriteria penuh sebagai AGI.
Setelah AGI tercapai dan mampu mengembangkan dirinya sendiri, para pakar menyatakan bahwa ASI bisa hadir dengan cepat.
Berdasarkan survei tahun 2024 terhadap 2.778 peneliti AI, ada 50% kemungkinan bahwa mesin akan melampaui manusia dalam semua tugas kognitif pada tahun 2047, 13 tahun lebih cepat dibanding prediksi 2022. Bahkan, ada peluang 10% bahwa hal ini bisa terjadi secepat 2027.
Di sisi lain, prediksi tentang dampaknya terhadap pekerjaan manusia juga mengejutkan. Para peneliti memperkirakan ada kemungkinan 10% bahwa semua pekerjaan bisa sepenuhnya terotomatisasi pada 2037, dan 50% kemungkinan hal itu terjadi pada 2116. Lebih dari separuh pakar AI juga menyebutkan risiko nyata bahwa sistem AI canggih dapat menyebabkan kepunahan umat manusia.
Geoffrey Hinton, yang dikenal sebagai “Godfather of AI”, menyampaikan kekhawatirannya dalam podcast YouTube. Ia memperingatkan bahwa ASI dapat menciptakan ancaman biologis seperti virus khusus—menular, mematikan, dan tanpa gejala dini—tanpa risiko bagi dirinya sendiri.
“Tak ada cara kita bisa mencegahnya menghapus kita jika ia ingin,” katanya. Menurut Hinton, cara terbaik bukan menghentikannya, tetapi “mencegah agar AI tidak punya keinginan itu sejak awal.”
Meta sendiri sudah meluncurkan Superintelligence Labs pada Juni 2025, dipimpin oleh Alexandr Wang (mantan CEO Scale AI) dan Nat Friedman (mantan CEO GitHub). Total investasi untuk infrastruktur dan data center diperkirakan mencapai US$72 miliar, mencerminkan keseriusan mereka mengejar ASI.
Tinggalkan Komentar
Komentar