periskop.id - Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250% di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, memicu gelombang protes dari masyarakat. Meski demikian, Bupati Pati Sudewo menegaskan bahwa angka tersebut merupakan batas maksimal dan tidak berlaku secara merata.

Dalam klarifikasinya, Sudewo menjelaskan bahwa banyak wajib pajak hanya mengalami kenaikan sebesar 50% atau bahkan kurang. 

"Banyak yang kenaikannya 50 persen, karena kenaikan 250 persen bukan angka kenaikan rata-rata yang berlaku bagi seluruh wajib pajak," ujarnya di Pati, Kamis (7/8), seperti dilansir dari Antara.

Menurutnya, kenaikan sebesar 250% hanya berlaku sebagai batas tertinggi. 

"Kalau memang ada yang merasa keberatan atas kenaikan hingga 250 persen, akan saya tinjau ulang," tegas Sudewo.

Kebijakan ini juga menarik perhatian Gubernur Jawa Tengah yang meminta agar kebijakan tersebut tidak memberatkan masyarakat.

Solusi Jangka Panjang dan Tantangan Pemerintah Daerah

Kenaikan tarif pajak yang drastis di Pati dianggap sebagai cerminan kurangnya inovasi pemerintah daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Peningkatan PAD seharusnya tidak hanya bergantung pada kenaikan tarif pajak, melainkan juga pada strategi yang lebih kreatif dan berkelanjutan.

Benny Eko Supriyanto, pegawai negeri di Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan, menyoroti pentingnya modernisasi pengelolaan pajak daerah. Menurutnya, pemerintah daerah dapat meningkatkan penerimaan pajak melalui beberapa cara.

Pertama, pemutakhiran data pajak dan perluasan basis pajak. 

"Dengan melakukan sensus pajak yang akurat dan memperbarui basis data, pemerintah dapat mengenali dan menarik lebih banyak wajib pajak baru, sehingga penerimaan pajak dapat meningkat," ungkap Benny dalam keterangan tertulisnya di laman resmi Kementerian Keuangan, Senin (4/11/2024).

Kedua, penggunaan teknologi dalam sistem pengelolaan pajak daerah. 

"Penerapan teknologi ini tidak hanya mempermudah masyarakat dalam melakukan pembayaran, tetapi juga meminimalkan potensi kecurangan serta meningkatkan akurasi dan transparansi data pajak," tambahnya.

Namun, upaya optimalisasi ini sering terkendala oleh ketimpangan kapasitas fiskal antar daerah. Daerah dengan potensi ekonomi besar seperti Kota Semarang, Surabaya, dan Denpasar memiliki penerimaan pajak jauh lebih tinggi dibanding daerah lain.

Sebagai informasi, menurut data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan pada 2024, realisasi PAD Kabupaten Pati mencapai Rp482,7 miliar. Sementara itu, pendapatan daerah Kabupaten Pati secara keseluruhan mencapai Rp2,9 triliun. 

Dengan demikian, rasio kemandirian fiskal Kabupaten Pati hanya sebesar 0,16. Bila mengacu pada klasifikasi kondisi kemandirian fiskal daerah menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maka Kabupaten Pati termasuk dalam daerah yang belum mandiri.

Ini mengindikasikan bahwa Pati masih dikategorikan sebagai daerah yang belum mandiri karena mayoritas pendapatannya masih sangat bergantung pada transfer dari Pemerintah Pusat, yang pada tahun 2024 mencapai 74,7% dari total pendapatan daerahnya.

Sebagai perbandingan, rasio kemandirian fiskal kota-kota besar jauh lebih tinggi. Kota Semarang memiliki rasio 0,53, Surabaya 0,61, dan Denpasar 0,54. Angka ini menempatkan ketiga kota tersebut dalam kategori daerah mandiri, menunjukkan perbedaan signifikan dalam kemampuan finansial daerah.