periskop.id - Ketimpangan antara si kaya dan si miskin di Jakarta makin melebar. Hal ini sejalan dengan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat ketimpangan pengeluaran (rasio gini) di Jakarta sebesar 0,441 pada Maret 2025, naik dibandingkan September 2024 sebesar 0,431. 

"Ini berarti ada gap pengeluaran penduduk kelas atas dan kelas bawah semakin lebar," kata Kepala BPS DKI Jakarta Nurul Hasanudin di Jakarta, Jumat (25/7). 

Hasanudin mengatakan, ketimpangan pengeluaran penduduk kelas atas dan kelas bawah yang semakin lebar ini menandakan, manfaat pertumbuhan ekonomi di ibu kota belum merata di semua kelompok masyarakat.

Distribusi pengeluaran penduduk Maret 2025 menunjukkan kelompok pengeluaran 40% terbawah mengalami penurunan sebesar 0,03% poin menjadi sebesar 16,12% dibandingkan September 2024 yang sebesar 16,15%.

Sementara untuk kelompok 20% teratas (penduduk kelas atas) justru ada kenaikan 1,01% dari semula 51,14% pada September 2024 menjadi 52,45% pada Maret 2025.

Menurut kategori Bank Dunia, angka ini menunjukkan ketimpangan pengeluaran penduduk di DKI Jakarta masih berada pada kategori ketimpangan sedang.

"Distribusi pengeluaran penduduk di Jakarta sangat didominasi oleh kelompok atas, sebanyak 52,45% pengeluaran penduduk Jakarta ini adalah berasal dari kelompok yang 20% teratas (penduduk kelas atas)," katanya. 

Selain soal ketimpangan, Hasanudin juga mengemukakan mengenai indeks kedalaman kemiskinan di Jakarta, yakni ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.

"Persoalan kemiskinan sekali lagi bukan hanya sekadar jumlah dan persentase penduduk miskinnya, tentu dimensi lain yang perlu juga mendapat perhatian adalah tingkat kedalaman dan juga tingkat keparahan dari kemiskinan tersebut," tuturnya. 

Pada periode September 2024-Maret 2025, indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan mengalami kenaikan. Indeks kedalaman kemiskinan Maret 2025 sebesar 0,574 naik dibandingkan September 2024 pada kondisi 0,549. Indeks keparahan kemiskinan Maret 2025 sebesar 0,111, naik dibandingkan September 2024 pada kondisi 0,106.

BPS DKI menyatakan, kenaikan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan menunjukkan kondisi kelompok penduduk miskin memburuk.

"Indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan menggambarkan potret di mana penduduk miskin semakin menjauhi garis kemiskinannya," ucapnya.

Tujuh Provinsi
Secara Umum, BPS mencatat tujuh provinsi memiliki rasio gini atau tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional yang tercatat 0,375 pada Maret 2025.

Dikutip dari Berita Resmi Statistik (BRS) yang dirilis Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono di Jakarta, Jumat, provinsi dengan tingkat ketimpangan tertinggi adalah Jakarta, yaitu sebesar 0,441. Angka tersebut meningkat dibandingkan rasio gini pada Maret 2024 sebesar 0,423 dan pada September 2024 sebesar 0,431.

Enam provinsi lainnya dengan rasio gini melebihi rata-rata nasional pada Maret 2025 adalah Yogyakarta (0,426), Jawa Barat (0,416), Papua Selatan (0,412), Papua (0,404), Gorontalo (0,392), dan Kepulauan Riau (0,382). Sementara itu, provinsi dengan tingkat ketimpangan terendah adalah Kepulauan Bangka Belitung, yaitu sebesar 0,222.

Secara nasional, BPS mencatat rasio gini di wilayah perkotaan lebih tinggi dibandingkan wilayah pedesaan pada Maret 2025, yakni 0,395 berbanding 0,299. Ateng menuturkan fenomena tersebut terjadi karena kelompok penduduk kelas atas lebih banyak berada di perkotaan, sehingga ketimpangan pengeluarannya lebih terasa.

Selain itu, ia mengatakan pengeluaran penduduk di pedesaan relatif homogen, tercermin dari data lapangan pekerjaan menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas).

“Di desa kan sebagian besar lapangan pekerjaannya itu pertanian, relatif homogen juga tercermin di pengeluarannya. Jadi, gini rasionya otomatis akan lebih kecil jika dibandingkan dengan wilayah di perkotaan,” ujar Ateng Hartono.

Sumber data utama yang digunakan untuk menghitung tingkat kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk pada Maret 2025 adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenans) Konsumsi dan Pengeluaran Maret 2025.

Pendataan Susenans Maret 2025 dilakukan pada Februari 2025. Hal ini karena pada Maret 2025 bertepatan dengan bulan Ramadhan, yang dapat mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga. Jumlah sampel Susenas Maret 2025 sebanyak 345 ribu rumah tangga yang tersebar di 38 provinsi 514 kabupaten/kota.