periskop.id - Di kedalaman lautan, kita mungkin tahu kalau mamalia cerdas seperti lumba-lumba dan paus memiliki cara berkomunikasi yang unik lewat suara. Faktanya, komunikasi mereka bukan sekadar suara, yaitu sebuah kecerdasan yang kompleks.
Lumba-lumba dan paus adalah mamaliah yang sangat sosial, memiliki sistem vokalisasi yang tidak hanya maju, tetapi juga menunjukkan keberagaman dialek antar kelompok.
Fenomena ini pun telah lama menarik perhatian ilmuwan karena menyiratkan adanya budaya dan identitas akustik di antara spesies laut.
Lumba-lumba diketahui memiliki “signature whistle”, yaitu siulan unik yang berfungsi seperti nama panggilan. Setiap individu lumba-lumba mengembangkan siulan khas masing-masing sejak kecil, dan siulan ini digunakan untuk mengenali satu sama lain.
Penelitian dari University of St Andrews menunjukkan bahwa lumba-lumba mampu meniru signature whistle milik temannya, terutama saat terpisah, seolah memanggil mereka kembali. Ini menunjukkan tingkat kecerdasan sosial yang tinggi dan kemampuan vokal yang fleksibel.
Sementara itu, paus bungkuk (humpback whale) memiliki nyanyian panjang yang bisa berlangsung hingga 30 menit. Nyanyian ini terdiri dari serangkaian unit suara yang diulang dalam pola tertentu.
Bagian menariknya, nyanyian paus bungkuk berubah dari tahun ke tahun dan menyebar antar populasi, mirip seperti tren musik yang berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain.
Studi oleh Garland et al. (2011) mencatat bahwa lagu paus di Samudra Pasifik Barat bisa menyebar hingga ke Samudra Timur dalam beberapa musim migrasi.
Perbedaan mencolok antara dua mamalia cerdas ini terletak pada struktur sosial dan tujuan vokalisasi. Lumba-lumba menggunakan suara untuk interaksi harian, koordinasi perburuan, dan permainan. Mereka hidup dalam kelompok kecil yang dinamis, sehingga komunikasi harus cepat dan responsif.
Sedangkan paus, terutama jenis paus besar, menggunakan vokalisasi untuk navigasi jarak jauh dan ritual kawin, karena mereka sering bermigrasi ribuan kilometer.
Layaknya perbedaan dialek bahasa pada manusia, perbedaan dialek juga ditemukan pada spesies lumba-lumba. Dialek ini muncul dalam bentuk variasi frekuensi dan tempo suara.
Lumba-lumba di Atlantik Utara, misalnya, memiliki signature whistle yang berbeda dari lumba-lumba di Pasifik Selatan. Begitu pula dengan paus pembunuh (orca), yang memiliki “pod-specific dialect” setiap kelompok keluarga memiliki repertoar suara yang unik dan diwariskan secara turun-temurun. Ini memperkuat gagasan bahwa vokalisasi bukan hanya insting, tapi juga bagian dari budaya sosial.
Teknologi hidrofon bawah laut telah membantu ilmuwan merekam dan menganalisis ribuan jam suara laut. Dari data ini, diketahui bahwa paus biru menghasilkan suara infrasonik yang bisa terdengar hingga 1.600 km jauhnya, sedangkan lumba-lumba lebih mengandalkan suara frekuensi tinggi untuk echolocation dan komunikasi jarak dekat. Perbedaan ini mencerminkan adaptasi terhadap lingkungan dan kebutuhan spesifik masing-masing spesies.
Meski berbeda dalam gaya dan fungsi, vokalisasi lumba-lumba dan paus menunjukkan satu kesamaan penting: keduanya memiliki kemampuan belajar dan menyesuaikan suara berdasarkan pengalaman.
Ini membuka kemungkinan bahwa mereka memiliki bentuk primitif dari bahasa, bahkan mungkin kesadaran akan identitas kelompok. Dalam konteks evolusi, hal ini menempatkan mereka sebagai makhluk non-manusia dengan kecerdasan komunikasi paling maju.
Dengan terus berkembangnya teknologi akustik dan pemahaman tentang perilaku laut, studi tentang dialek vokalisasi ini bukan hanya memperkaya ilmu biologi, tapi juga mengajak kita untuk melihat lautan sebagai ruang budaya yang hidup.
Tinggalkan Komentar
Komentar