periskop.id - Tragedi jatuhnya pesawat latih sipil di kawasan Desa Benteng, Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (3/8), menewaskan Marsekal Pertama TNI Fajar Adriyanto. 

Peristiwa tersebut terjadi saat Fajar tengah mengikuti latihan penerbangan menggunakan pesawat Quicksilver GT500 bernomor ekor S126 milik Federasi Aero Sport Indonesia (FASI), bersama seorang pilot lainnya yang juga turut gugur di tempat kejadian.

Fajar dikenal sebagai mantan Kepala Dinas Penerangan TNI AU, yang kerap tampil sebagai juru bicara resmi institusi tersebut. 

Dikutip dari Antara, Senin (4/8), perjalanan kariernya dimulai dari Akademi Angkatan Udara (AAU) tahun 1992, dan terus menanjak melalui berbagai posisi strategis, termasuk sebagai Komandan Skuadron 3 Lanud Iswahyudi, Komandan Lanud Manuhau, dan Kepala Dinas Potensi Dirgantara.

Dalam kurun waktu 2007 hingga 2024, Fajar menempati sejumlah jabatan penting lainnya seperti Kadispenau (2019–2020), Aspotdirga Kaskoopsudnas (2023–2024), hingga posisi terakhirnya sebagai Kapoksahli Kodiklatau. 

Ia juga dikenal sebagai mantan penerbang tempur pesawat F-16 yang turut mengawal perbatasan udara Indonesia dari pelanggaran asing.

Salah satu momen heroik yang dikenang dari perjalanan militer Fajar terjadi pada tahun 2003, saat ia bersama Kepala Staf TNI AU saat ini, Marsekal TNI Mohammad Tonny Harjono, melakukan misi intersepsi terhadap pesawat F/A-18 Hornet milik Angkatan Udara Amerika Serikat yang memasuki wilayah udara Indonesia. 

Aksi kejar-kejaran udara pun berlangsung dramatis sebelum akhirnya pesawat asing tersebut berbalik arah meninggalkan wilayah kedaulatan Indonesia.

Kepergian Fajar meninggalkan duka mendalam bagi keluarga besar TNI AU dan masyarakat yang mengenalnya. 

Jenazahnya sempat disemayamkan di rumah duka kawasan Jakarta Selatan sebelum direncanakan diberangkatkan dari Lanud Halim Perdanakusuma menuju tanah kelahirannya di Probolinggo untuk dimakamkan dengan upacara militer.

Dedikasi dan kontribusi Fajar dalam menjaga kedaulatan ruang udara nasional akan selalu menjadi bagian penting dari sejarah pengabdian TNI AU.

Belum terdapat informasi resmi mengenai cuaca atau kondisi teknis pesawat saat terbang. Namun, karena pesawat merupakan jenis latih ringan, sensitivitas terhadap gangguan teknis atau cuaca ekstrem bisa tinggi.