Periskop.id - Sebuah penelitian yang dirilis pada tahun 2011 mengubah pandangan para ilmuwan tentang bagaimana otak manusia merespons penolakan sosial. Selama ini, para peneliti berasumsi bahwa rasa sakit akibat penolakan sosial—misalnya perasaan perih, sedih, atau tersakiti—hanya mirip dengan bagian emosional dari rasa sakit fisik.

Namun, penelitian baru ini menemukan sesuatu yang lebih signifikan, ketika seseorang mengalami penolakan sosial yang sangat kuat, bagian otak yang biasanya aktif saat merasakan sakit fisik juga ikut aktif.

Penelitian berjudul “Social Rejection Shares Somatosensory Representations with Physical Pain” menemukan bahwa dua area otak spesifik diaktifkan secara bersamaan saat seseorang merasakan penolakan mendalam dan rasa sakit fisik, yaitu:

  1. Secondary Somatosensory Cortex (S2)
  2. Dorsal Posterior Insula (dpINS)

Kedua area ini adalah pusat utama di otak yang biasanya bekerja ketika tubuh merasakan rasa sakit fisik secara langsung, misalnya ketika kulit terkena panas atau mengalami luka gores. Dengan kata lain, penelitian ini menunjukkan bahwa penolakan tidak hanya menyakitkan secara emosional, tetapi otak memprosesnya seperti rasa sakit fisik sungguhan.

Metode Eksperimen Ilmiah

Untuk membuktikan hipotesis ini, para peneliti mengajak 40 orang yang baru saja putus cinta dan merasa sangat tersakiti dalam enam bulan terakhir. Para partisipan kemudian dimasukkan ke dalam mesin functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI), alat yang digunakan untuk melihat dan merekam aktivitas otak secara real-time.

Di dalam mesin fMRI, partisipan diminta melakukan dua tugas terpisah, yakni:

  1. Tugas Penolakan Sosial: Partisipan diminta untuk melihat foto mantan atau mengingat momen saat mereka ditolak cintanya. Sebagai pembanding, mereka juga diminta melihat foto teman dekat sambil mengingat momen bahagia.
  2. Tugas Rasa Sakit Fisik: Lengan para partisipan diberi panas yang menyakitkan dengan intensitas tinggi, lalu diberi panas ringan yang tidak menyakitkan dengan intensitas rendah.

Setelah tiap percobaan, mereka diminta memberi nilai seberapa sakit atau tidak nyaman yang dirasakan.

Hasil penelitian menunjukkan kesimpulan yang kuat, ketika para partisipan melihat foto mantan atau mengingat momen penolakan cinta, bagian otak (S2 dan dpINS) yang sama dengan ketika mereka merasakan panas menyakitkan ikut aktif.

Artinya, rasa sakit hati akibat penolakan sosial yang kuat benar-benar memicu pusat rasa sakit fisik. Penolakan yang kuat ini diproses oleh otak sebagai reaksi biologis yang nyata, bukan sekadar respons emosional yang dilebih-lebihkan.

Implikasi Bagi Kesehatan Mental dan Fisik

Penemuan ini memiliki implikasi besar terhadap pemahaman kita mengenai hubungan antara emosi dan tubuh.

Penolakan sosial bisa benar-benar terasa seperti sakit fisik dan hal ini membuktikan bahwa rasa sakit itu valid dan bukan sekadar "lebay", sebab memang begitulah cara kerja otak.

Temuan ini juga dapat membantu menjelaskan mengapa peristiwa emosional seperti putus cinta, diasingkan, atau ditolak bisa memicu gangguan fisik sekunder, seperti sakit kepala, nyeri otot, atau masalah kesehatan lain yang bersifat psikosomatis.

Oleh karena itu, penelitian ini memperkuat hipotesis yang berkembang di segelintir masyarakat bahwa emosi sangat berpengaruh ke tubuh. Tubuh secara harfiah ikut merasakan dan merespons apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh hati.