Periskop.id - Presiden Prabowo Subianto memerintahkan Kementerian Kehutanan melakukan audit dan evaluasi total, izin operasi Toba Pulp Lestari yang bergerak pada sektor pengolahan hasil hutan, khususnya bubur kertas atau pulp dan produk turunan lainnya.
"Khusus untuk PT Toba Pulp Lestari, PT TPL, yang banyak diberitakan. Bapak Presiden secara khusus memerintahkan kepada saya untuk audit dan evaluasi total terhadap PT TPL ini," kata Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni saat jumpa pers di Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Senin (156/12) sore.
Raja Juli melanjutkan, dirinya kemudian menginstruksikan Wakil Menteri Kehutanan Rohmat Marzuki untuk fokus mengawal audit tersebut. "Insyaallah sekali lagi apabila (sudah) ada hasilnya, akan saya umumkan kembali kepada publik, apakah akan kita cabut atau kita lakukan rasionalisasi terhadap PBPH yang mereka kuasai beberapa tahun belakang ini," ujarnya.
PBPH yang disebut Raja Juli merupakan kependekan dari Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. Pada kesempatan sama, Raja Juli juga mengumumkan Kementerian Kehutanan telah mencabut 22 PBPH yang luas lahannya mencapai 1.012.016 hektare. Luasan itu mencakup 116.198 hektare lahan di Sumatera.
"Detailnya saya akan menuliskan SK (surat keputusan) pencabutan ini dan nanti akan saya sampaikan," katanya.
Raja Juli menjelaskan pencabutan itu merupakan tindak lanjut dari perintah Presiden untuk menertibkan PBPH bermasalah, yang jumlahnya diperkirakan mencapai 1,5 juta hektare.
"Tanggal 3 Februari lalu, saya sudah mencabut 18 PBPH seluas 1,5 juta hektare, ditambah hari ini 1 juta hektare. Maka, sudah ada penertiban sekitar 1,5 juta hektare hutan kita," kata Menhut.
Dalam jumpa pers yang sama, Raja Juli juga mengumumkan langkah-langkah yang telah diambil oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang terdiri atas sejumlah kementerian/lembaga.
"Per hari ini, kami (Kementerian Kehutanan, red.) sudah menertibkan 11 subjek hukum yang nanti sekali lagi akan kita sinergikan proses penegakan hukumnya bersama dengan Satgas PKH," ungkapnya.
Evaluasi dan audit ketat terhadap sejumlah perusahaan yang bergerak pada sektor pengolahan hasil hutan dilakukan pemerintah, setelah adanya banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada 25 November 2025.
Bencana tersebut, selain karena faktor cuaca ekstrem, diyakini diperparah karena kerusakan lingkungan akibat masifnya alih fungsi hutan menjadi lahan-lahan perkebunan monokultur dan tambang.
Delapan Perusahaan
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah memanggil delapan perusahaan besar di Sumatera Utara terkait pengelolaan lingkungan yang diduga memicu bencana banjir dan longsor di sejumlah lokasi, termasuk indikasi aktivitas menyebabkan pencemaran dan sedimentasi sungai.
"Langkah ini bertujuan untuk memperoleh penjelasan langsung dari manajemen perusahaan mengenai aktivitas operasional yang diduga berkaitan dengan terjadinya banjir, sekaligus memastikan pemenuhan seluruh kewajiban pengelolaan lingkungan hidup," kata Menteri LH/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq seperti yang dikonfirmasi dari Jakarta, Senin.
Ia menekankan, pihaknya tidak akan berkompromi terhadap pelaku usaha yang mengabaikan aspek keberlanjutan dan keselamatan masyarakat. Hanif menekankan pemanggilan tersebut bukan sekadar klarifikasi, melainkan upaya intensif untuk meminta keterangan manajemen. Termasuk memverifikasi seluruh dokumen perizinan lingkungan, dan memastikan kepatuhan atas kewajiban pengelolaan lingkungan hidup yang selama ini dijalankan.
Menurut data resmi KLH, delapan perusahaan yang dipanggil untuk memberikan penjelasan adalah PT Agincourt Resources, PT Toba Pulp Lestari, Sarulla Operations Ltd dan PT Sumatera Pembangkit Mandiri. Kemudian PT Teluk Nauli, PT North Sumatera Hydro Energy, PT Multi Sibolga Timber, dan PT Perkebunan Nusantara IV Kebun Batang Toru.
Dalam proses awal, KLH/BPLH menemukan sejumlah indikasi dan dugaan pelanggaran serius terkait pemanfaatan ruang dan tata kelola lingkungan. Beberapa temuan awal menunjukkan adanya praktik pembukaan lahan yang dilakukan di luar batasan persetujuan lingkungan, kegagalan perusahaan dalam menjaga areal konsesi dari aktivitas perambahan liar, hingga lemahnya pengelolaan dan pemantauan dampak lingkungan.
Secara spesifik, perusahaan-perusahaan tersebut dinilai lalai dalam mengendalikan erosi dan air larian (run-off), yang berdampak langsung pada pencemaran dan sedimentasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru dan Garoga.
Untuk memastikan setiap temuan memiliki dasar hukum dan data teknis yang tidak terbantahkan, KLH/BPLH akan melakukan pendalaman lanjutan yang komprehensif. Pendalaman ini melibatkan kolaborasi dengan tim ahli independen, termasuk ahli hidrologi, geospasial, kerusakan lahan, dan model banjir.
Pendekatan berbasis bukti ilmiah dilakukan untuk menjamin proses klarifikasi dan penegakan hukum berjalan secara transparan dan akuntabel. Serta menjadi dasar kuat dalam menentukan kewajiban pemulihan lingkungan maupun sanksi tegas bagi entitas korporasi yang terbukti melanggar.
"Kami akan mengambil langkah hukum yang diperlukan demi menjamin pemulihan lingkungan dan mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang. Perlindungan lingkungan dan keselamatan masyarakat harus menjadi prioritas utama dalam setiap kegiatan usaha," tuturnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar