periskop.id - Kabar hilangnya Bilqis bukan sekadar peristiwa yang lewat begitu saja, ini adalah pengingat keras bahwa keamanan anak sering kali bergantung pada hal-hal kecil yang kerap kita abaikan. Namun, apakah kita benar-benar sudah memahami risiko yang mengintai di sekitar anak setiap hari? Langkah apa yang seharusnya dilakukan orang tua sebelum semuanya terlambat?

Ikatan Emosional yang Membuat Anak Lebih Tangguh 

Kedekatan emosional antara orang tua dan anak bukan hanya soal kasih sayang, tetapi juga fondasi penting bagi rasa aman mereka. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan penuh dukungan dan komunikasi terbuka cenderung lebih berani mengungkapkan ketidaknyamanan, kecurigaan, atau peristiwa janggal yang mereka alami.

Sejumlah penelitian turut memperkuat hal ini. Studi yang dilakukan Arianda, Salim, dan Ruzain (2022) menunjukkan bahwa kelekatan aman (secure attachment) antara ibu dan anak berhubungan positif dengan perkembangan sosial-emosional anak, termasuk kemampuan memahami situasi sosial dan bereaksi terhadap ancaman dengan lebih adaptif.

Penelitian lain oleh Novera dan Setiawati berjudul “Pengaruh Secure Attachment Ibu terhadap Kemandirian Anak Usia Dini” juga menemukan bahwa secure attachment berperan penting dalam membangun kemandirian anak. Anak yang merasa aman dengan orang tuanya memiliki rasa percaya diri lebih kuat sehingga lebih mampu mengambil keputusan ketika menghadapi situasi yang tidak nyaman.

Penelitian psikologi perkembangan secara umum menjelaskan bahwa secure attachment membantu anak mengembangkan kepekaan terhadap potensi ancaman sosial sekaligus memudahkan mereka meminta pertolongan ketika dibutuhkan. 

Mengajarkan Batasan Diri Lewat Role Play agar Anak Berani Berkata “Tidak”

Anak kecil belum mampu menilai motif seseorang atau mengenali manipulasi sehingga mereka mudah dibujuk oleh orang asing maupun sosok yang tampak ramah. Oleh karena itu, pengajaran batasan diri sebaiknya dilakukan dengan metode yang mudah dipahami, seperti bermain peran.

Orang tua dapat melatih anak untuk menolak ajakan mencurigakan, meminta waktu untuk menghubungi orang tua, hingga mengenali sentuhan yang tidak pantas. Pendekatan ini terbukti lebih efektif daripada menakuti anak dengan ancaman “ada penculik” karena anak belajar lewat konteks nyata yang mereka pahami.

Dalam kasus Bilqis, pemberitaan menyebut adanya bujuk rayu dan interaksi yang berawal dari media sosial. Hal ini memperlihatkan bahwa ancaman sering kali hadir dalam bentuk yang tampaknya ramah dan tidak berbahaya.

Keamanan Digital Kini Sama Gentingnya dengan Pengawasan di Dunia Nyata

Di era digital, penculikan dan perdagangan anak kerap dimulai dari ruang digital. Foto, lokasi, informasi kebiasaan anak, semuanya dapat dimanfaatkan pelaku yang memantau lewat media sosial. Oleh sebab itu, kebiasaan berbagi informasi perlu dievaluasi dengan menghindari unggahan dengan lokasi real-time, gunakan akun privat, dan batasi siapa yang dapat melihat konten yang menampilkan anak.

Kasus Bilqis menambah bukti bahwa ruang digital dapat menjadi pintu masuk kejahatan. Media melaporkan bahwa grup Facebook diduga digunakan untuk memperjualbelikan anak, memperlihatkan betapa seriusnya ancaman ini bagi keluarga.

Selain kasus Bilqis, satu peringatan besar lain datang dari grup Facebook Fantasi Sedarah. Grup ini tidak hanya menyebarkan konten pornografi anak, tetapi juga memfasilitasi eksploitasi digital anak secara terorganisir.

Kasus ini menegaskan bahwa kejahatan seksual anak kini juga mengakar di ruang online, bukan hanya penculikan fisik, tetapi juga pemanfaatan platform digital sebagai sarana eksploitasi dan perdagangan konten. Itu sebabnya sangat penting bagi orang tua untuk tidak hanya membatasi berbagi informasi anak secara offline, tetapi juga menjaga jejak digital mereka dengan sangat hati-hati.

Waspada Tanpa Paranoid: Cara Mengawasi Anak Secara Efektif

Pengawasan bukan berarti mengontrol anak sepanjang waktu, melainkan menciptakan sistem keamanan yang jelas dan mudah dipahami. Orang tua dapat menetapkan “zona aman,” membuat kode keluarga untuk situasi darurat, hingga menentukan titik kumpul apabila anak terpisah.

Faktanya, banyak kasus penculikan terjadi dalam hitungan menit ketika orang tua lengah. Kronologi penculikan Bilqis menunjukkan betapa cepatnya situasi berkembang, pelaku berhasil membawa korban lintas provinsi hingga akhirnya ditemukan di Jambi. Ini menjadi pengingat kuat bahwa pengawasan harus strategis, bukan berlebihan dan tidak boleh hanya mengandalkan asumsi bahwa lingkungan sekitar aman.

Studi oleh Yang et al. (2023) menemukan bahwa pengawasan aktif orang tua berperan sebagai faktor protektif yang signifikan dalam mencegah perilaku berisiko pada anak dan remaja, terutama mereka yang paling rentan terhadap situasi bahaya.

Selain itu, penelitian oleh Finkelhor et al. (2023) menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan orang tua tentang aktivitas anak (parental knowledge) secara signifikan menurunkan kemungkinan anak mengalami peristiwa traumatis atau bahaya. Pengawasan yang bersifat suportif, berbasis informasi, dan tidak bersifat mengikat berlebihan dapat menciptakan sistem keamanan yang efektif sekaligus menjaga kepercayaan anak. 

Kasus Bilqis dan fakta penelitian psikologis mengingatkan kita bahwa pengawasan anak bukan soal mengontrol, tapi soal membekali mereka dengan rasa aman dan kemampuan membuat keputusan tepat.