periskop.id - Pernah merasa repot melihat angka nol berderet di struk belanja atau transfer bank? Nah, redenominasi rupiah hadir untuk menjawab itu. Rencana ini akan memotong tiga nol di belakang angka, menggantikan Rp1.000 menjadi Rp1 tanpa mengubah daya beli. Kedengarannya simpel, tapi dampaknya bisa terasa di kehidupan sehari-hari.

Harga yang “Kecil”, tapi Nilainya Sama

Kalau redenominasi jadi diterapkan, hal pertama yang akan terasa adalah perubahan tampilan harga di berbagai tempat. Di minimarket, label harga Rp25.000 akan berubah jadi Rp25. Di pasar tradisional pun, pedagang sayur perlu menyesuaikan catatan dan kebiasaan menghitung.

Namun, nilai barang tidak berubah.
Misalnya:

  • Sekilo cabai yang tadinya Rp40.000 akan menjadi Rp40.
  • Seporsi bakso Rp20.000 akan menjadi Rp20.

Perbedaannya hanya jumlah nol di belakang, bukan daya beli atau pendapatan.

Menurut rencana yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2025 (PMK 70/2025), redenominasi ini bertujuan untuk mempermudah transaksi dan meningkatkan efisiensi ekonomi.

ATM, Dompet Digital, dan Aplikasi Keuangan

Lalu, bagaimana dengan saldo di rekening bank dan aplikasi dompet digital?
Jangan khawatir, sistem perbankan akan menyesuaikan secara otomatis. Jika sekarang saldo Anda Rp5.000.000, maka setelah redenominasi akan menjadi Rp5.000. Namun ingat, nilai belanjanya sama. Anda tetap bisa membeli barang dengan nilai setara.

Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan akan melakukan penyesuaian sistem digital, ATM, dan software akuntansi agar tidak terjadi kekeliruan nominal.
Inilah mengapa rencana ini baru ditargetkan selesai sekitar tahun 2027 karena butuh waktu untuk menyiapkan seluruh sistem keuangan nasional.

Selain itu, aplikasi pembayaran seperti Gopay, OVO, atau DANA kemungkinan besar akan melakukan update besar-besaran agar semua saldo dan harga otomatis tersinkronisasi dengan nominal baru.

Pedagang dan Pembeli Butuh Adaptasi, Tapi Tak Perlu Panik

Redenominasi bisa jadi membingungkan di awal, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM). Pedagang yang biasa menulis harga Rp2.000 di papan menu harus belajar menulis Rp2 saja.

Negara lain seperti Turki (2005) juga pernah melakukan hal serupa dengan menghapus enam nol dari mata uang lamanya, menjadikan 1 Yeni Türk Lirası (YTL) setara dengan 1.000.000 lira lama. Kebijakan ini membuat sistem transaksi dan pencatatan keuangan menjadi jauh lebih sederhana.

Sementara itu, Korea Selatan (1962) juga melakukan reformasi mata uang dengan memperkenalkan kembali won baru dan menetapkan nilai tukar 1 won = 10 hwan, sebagai langkah penataan sistem keuangan nasional pasca perang. Langkah ini membantu memulihkan stabilitas ekonomi dan meningkatkan efisiensi sistem pembayaran.

Tujuan Utamanya Bukan Ganti Nilai, Tapi Ganti Tampilan

Salah satu kesalahpahaman umum adalah mengira redenominasi sama dengan pemotongan nilai uang. Padahal, ini bukan sanering. Sanering berarti pemangkasan nilai uang, misalnya Rp1.000 jadi Rp1 sehingga nilai beli ikut turun.
Sebaliknya, redenominasi hanya menyederhanakan angka nol tanpa mengurangi daya beli.

Peneliti Bank Indonesia, Pambudi (2014), dalam jurnal Bulletin of Monetary Economics and Banking menegaskan bahwa redenominasi yang berhasil membutuhkan kondisi ekonomi stabil dan inflasi rendah agar tidak menimbulkan kebingungan dan inflasi psikologis.

Rencana Rp1 menggantikan Rp1.000 mungkin terdengar mengejutkan, tapi tujuannya adalah membuat sistem keuangan lebih efisien dan mudah dipahami. Kita tidak akan kehilangan uang yang berubah hanyalah jumlah nol di layar dan di kertas.