periskop.id - Akhir-akhir ini, banyak anak muda yang mulai merasa bahwa kestabilan ekonomi lebih penting dari pernikahan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi yang tidak menentu dan berakibat pada tingginya biaya hidup. Kekhawatiran terhadap hal tersebut mendorong anak muda untuk bertindak lebih rasional dan realistis.
Bukan hanya itu, tindakan ini juga mendapatkan pengaruh dari penyebaran media sosial yang menunjukkan adanya narasi marriage is scary. Narasi itu menciptakan anggapan negatif terhadap ketakutan dalam berkomitmen, khawatir terhadap ketidakstabilan emosional dan finansial, serta adanya kemungkinan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.
Lantas, fenomena ini pun menciptakan pergeseran nilai sosial dan budaya yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia. Kini, anak muda lebih memilih memprioritaskan untuk memperkokoh tembok finansial daripada mengejar status sosial lewat pernikahan. Alih-alih membangun rumah tangga, mereka lebih memilih mengembangkan karier dan membuat perencanaan kehidupan masa depan.
Pergeseran nilai ini menunjukkan bagaimana realitas ekonomi dan sosial saat ini membentuk definisi “dewasa” dalam pandangan yang lain bagi generasi muda.
Tantangan yang Dihadapi Generasi Muda
Berdasarkan penelitian “Pengaruh Fenomena ‘Marriage is Scary’ terhadap Stigma Pernikahan dan Perilaku Seksual Pra-Nikah pada Generasi Muda” menyebutkan bahwa faktor yang memengaruhi fenomena ini disebabkan ketidakstabilan ekonomi, ketakutan terhadap kegagalan pernikahan, dan ekspektasi sosial yang berlebihan.
Di dalam penelitian tersebut juga menunjukkan sebanyak 55% generasi muda memilih menunda pernikahan karena kondisi finansial yang tidak stabil dan masih fokus untuk mengembangkan karier. Sementara menurut data dari Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, menyebutkan angka perceraian sebanyak 40% pada tahun 2021. Hal itu memperkuat rasa takut anak muda terhadap status pernikahan.
Selain masalah ekonomi, faktor media sosial juga memengaruhi fenomena ini. Masih dalam penelitian yang sama, menyebutkan bahwa sebanyak 50,6% anak muda sering terpapar oleh konten media sosial tentang kegagalan pernikahan, seperti perselingkuhan dan KDRT, sebanyak 45,5% cukup sering terpapar konten kegagalan pernikahan, dan sebanyak 3,9% jarang melihat konten yang berkaitan dengan kegagalan pernikahan.
Berdasarkan faktor di atas, menjadi alasan mengapa banyak anak muda yang lebih memprioritaskan penguatan finansial ketimbang mengejar status pernikahan.
Tanggapan Ahli

Ternyata, menurut ahli fenomena ini tidak sepenuhnya benar. Menurut dosen Sosiologi Universitas Indonesia Dr. Ida Ruwaida, mengatakan bahwa masih banyak anak muda yang bergaya hidup konsumtif dan suka ikut-ikut tren terkini atau lebih dikenal dengan fear of missing out (FOMO). Ia menilai, anak muda masih belum memiliki kesadaran finansial yang baik.
Sementara itu, menurut Dr. Francisia Saveria Sika Ery Seda dari Universitas Indonesia, mengatakan adanya pergeseran nilai sosial turut memberikan kontribusi terhadap persepsi anak muda. Ia menyebut kestabilan ekonomi menjadi hal yang utama dibandingkan pernikahan, karena hidup yang berkecukupan menjadi tuntutan hidup saat ini.
“Kestabilan finansial lebih diutamakan daripada pernikahan, karena hidup yang berkecukupan merupakan tuntutan zaman sekarang,” katanya.
Hubungan Teori Modernitas dengan Fenomena Ini
Menurut Anthony Giddens (1990 & 1991) dalam karyanya yang berjudul The Consequences of Modernity dan Modernity and Self-Identity, berpendapat bahwa kehidupan modernitas memberikan perubahan besar bagaimana individu memahami dirinya sendiri, hubungan sosial, dan institusi. Menurutnya, salah satu ciri khas kehidupan modernitas adalah refleksivitas diri, yaitu setiap individu berhak memilih, merencanakan, dan menentukan pilihan hidupnya.
Fenomena ini juga menunjukkan adanya refleksivitas modernitas yang menandakan bahwa anak muda tidak lagi menjalani kehidupan berdasarkan pola tradisional, tetapi lebih mempertimbangkan keputusan yang rasional dan menghindari risiko yang kemungkinan terjadi.
Sementara itu, menurut Ronald Inglehart (1997 & 2000) dalam teori “Silent Revolution” dan penelitian World Values Survey, berpendapat bahwa kehidupan modernisasi dapat mengubah nilai sosial di dalam masyarakat. Teori ini menunjukkan bahwa anak muda ingin hidup mandiri dan bebas, tetapi masih memiliki ketakutan terhadap ketidakpastian ekonomi. Jadi, kondisi ekonomi yang aman tetap menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi agar dapat mengatasi perasaan takut akan kemiskinan.
Penutup
Fenomena ketakutan anak muda terhadap kemiskinan ketimbang pernikahan, bukan berarti menandakan kalau anak muda tidak menuruti aturan nilai tradisional. Namun, mereka lebih memprioritaskan keputusan yang rasional dan tidak berisiko. Kestabilan ekonomi menjadi hal utama yang harus dipenuhi sebelum beranjak ke kehidupan pernikahan. Menjaga keseimbangan antara masa depan finansial dengan nilai-nilai tradisional menjadi dua hal yang harus dijalani secara bijak.
Tinggalkan Komentar
Komentar