periskop.id - Mata uang rupiah pada perdagangan Senin (17/11/2025) ditutup melemah 29 poin ke level Rp16.736 per dolar AS, setelah sebelumnya sempat menembus Rp16.740. Penurunan ini dipengaruhi oleh sentimen eksternal maupun proyeksi ekonomi domestik.
Indeks dolar AS menguat karena investor semakin yakin bahwa Federal Reserve kemungkinan besar tidak akan melonggarkan kebijakan dalam waktu dekat, seiring inflasi yang masih tinggi dan pasar tenaga kerja AS yang stabil. Penutupan pemerintah AS yang menghentikan rilis sejumlah data makro penting juga menambah ketidakpastian pasar.
“Penguatan dolar AS membuat rupiah menghadapi tekanan, apalagi data ekonomi AS yang tertunda membuat investor berhati-hati,” ujar Pengamat Ekonomi, Mata Uang & Komoditas Ibrahim Assuaibi, Senin (17/11).
Konflik di Ukraina turut memengaruhi pergerakan pasar energi global. Serangan terhadap terminal pipa minyak dan beberapa kilang Rusia menimbulkan kekhawatiran pasokan, meski laporan terakhir menunjukkan pemuatan minyak mulai kembali normal.
Di dalam negeri, Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional 2026 sebesar 5,33%, sedikit di bawah target pemerintah 5,4%. Inflasi diperkirakan berada di level 2,62%, masih dalam kisaran sasaran BI.
“Rupiah akan tetap fluktuatif dalam jangka pendek karena sentimen global dan domestik berjalan bersamaan. Pasar akan melihat sejauh mana realisasi kebijakan pemerintah dan BI bisa mendorong stabilitas,” tambah Ibrahim.
Menteri Keuangan menargetkan pertumbuhan hingga 6 persen, didukung indikator ekonomi terkini yang menunjukkan pemulihan, seperti penjualan ritel yang naik 4,3 persen dan PMI manufaktur yang berada di level ekspansif 51,2 pada Oktober 2025.
Untuk perdagangan Selasa (18/11), rupiah diperkirakan bergerak di rentang Rp16.730 hingga Rp16.770. Investor diperkirakan akan terus mencermati pidato pejabat The Fed dan realisasi kebijakan fiskal domestik sebagai acuan pergerakan mata uang.
Tinggalkan Komentar
Komentar