Periskop.id – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberi sinyal ke pasar, pemerintah kemungkinan tidak merealisasikan seluruh pagu utang atau pembiayaan untuk menutupi defisit APBN 2026. Purbaya cukup yakin, dengan fokus mendorong pertumbuhan ekonomi, kebutuhan utang akan menurun seiring dengan naiknya pendapatan pajak.
Menurut Purbaya, batas-batas terkait utang seharusnya tidak rigid atau saklek. Karena utang atau kebutuhan pembiayaan APBN seharusnya disesuaikan dengan kondisi perekonomian. Jika ekonomi berjalan kencang, utang bisa direm. Sebaliknya, jika sedang menurun dan butuh stimulus, utang bisa ditambah.
Batas-batas yang dimaksud Purbaya adalah batas defisit anggaran pemerintah maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sedangkan batas maksimal untuk total utang pemerintah adalah 60% dari PDB.
“Jadi batas-batas utang itu harusnya gak rigid, tapi tergantung pada kondisi ekonomi. Tapi kalau saya lihat ke depan, harusnya kita gak akan terpaksa menambahkan utang lebih, karena saya akan mendorong pertembuhan ekonomi lebih cepat,” ujarnya usai menghadiri Rapat peripuran pengesahan APBN 2026 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (23/9).
Ia yakin, dengan strategi yang dijalankannya ke depan, sekalipun dengan kondisi APBN yang sama, Indonesia akan mendapatkan pertemuan ekonomi yang lebih cepat dan pendapatan pajak yang lebih tinggi.
“Jadi harusnya saya tidak akan utang terlalu besar. Mungkin saya perkirakan, ada kemungkinan utang yang saya terbitkan tidak akan sebesar yang ada di APBN. Nanti kita lihat semester pertama tahun depan bagaimana realisasi pertumbuhan ekonominya,” ucapnya.
Menurutnya, dengan mengatur uang yang dimiliki pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat, maka negara akan mendapatkan kembali penerimaan yang lebih besar. Purbaya berhitung, setidaknya dengan satu persen pertumbuhan ekonim saja, akan ada tambahan pendapatan sekitar Rp220 triliun. “Itu yang kami kejar. Jika tumbuh setengah persen saja (pertumbuhan ekonomi) kita dapat tambahan income Rp110 triliun,” imbuhnya.
Postur APBN 2026
Sekadar informasi, berdasarkan postur final UU APBN 2026 (setelah revisi di Banggar DPR RI), pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp3.153,6 triliun (naik Rp5,9 triliun). Pendapatan negara berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.693,7 triliun (naik Rp1,7 triliun).
Penerimaan perpajakan sendiri terdiri dari penerimaan pajak sebesar Rp2.357,7 triliun (tetap) dan penerimaan dari kepabeanan dan cukai: Rp336 triliun (naik Rp1,7 triliun). Penerimaan lainnya berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp459,2 triliun (naik Rp4,2 triliun) dan hibah sebesar Rp0,66 triliun (tetap)
Adapun untuk pos belanja negara ditetapkan sebesar Rp3.842,7 triliun (naik Rp56,2 triliun). Terdiri dari belanja pemerintah pusat senilai Rp3.149,7 triliun (naik Rp13,2 triliun), belanja K/L Rp1.510,5 triliun (naik Rp12,3 triliun) dan belanja non-K/L: Rp1.639,1 triliun (naik Rp0,9 triliun) dan Transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp693 triliun (naik Rp43 triliun)
Dari postur tersebut, keseimbangan primer tercatat sebesar surplus Rp89,7 triliun (naik Rp50,3 triliun). Namun, defisit anggaran secara kseluruhan mencapai Rp689,1 triliun (2,68% terhadap PDB/ atau naik 0,2%). Dari defisit tersebut pembiayaan anggaran menjadi sebesar Rp689,1 triliun (naik Rp50,3 triliun). Pembiayaan anggaran inilah yang menjadi pagu utang untuk tahun 2026 nanti.
Menurut Purbaya, batas defisit 3% dari PDB dan batas penarikan utang sebesar 60% dari PDB berasal dari The Maastricht Treaty yang diterapkan di Eropa dan menjadi rujukan dunia. Padahal, di Eropa sendiri, batasan-batasan tersebut sudah lama di langar oleh banyak negara-negara besar.
“Di Jerman saja udah hampir 100% ke PDB. (4:56) Amerika 120% lebih. Jepang 250% katanya. Jadi kita amat prudent.Jadi kalau nanti ada rating agency yang mempertanyakan itu, suruh bandingkan negara-negara yang lain yang maju yang menjadi acuan dia. Habis itu suruh bawa cermin,” tegasnya.
Singkatnya, kata Purbaya, alih-alih hanya fokus pada defisit dan upaya untuk berutang demi membiayai defisit, ia sedang mencoba lebih dulu melakukan efisiensi bujet, mengektifkan penerimaan pajak, menghapus segalam macam penggelapan dan sebagainya.
“Nanti kita lihat, kalau udah efisien bener berapa sih pendapatan pajak kita?,” serunya.
Basis Pajak
Sebelumnya, Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mendorong pemerintah untuk segera memperkuat penerimaan negara guna mencegah pelebaran defisit APBN. Achmad menyarankan beberapa langkah, antara lain, pertama ekstensifikasi dan intensifikasi pajak.
Menurutnya, pemerintah perlu memperluas basis pajak, terutama dari sektor digital, jasa profesional, serta kelompok masyarakat berpendapatan tinggi. "Kedua, optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam dan minerba," ujarnay seperti dilansir Antyara beerapa waktu lalu.
Kemudian, ketiga, evaluasi insentif pajak. Belanja perpajakan atau tax expenditureIndonesia saat ini mencapai Rp372 triliun, namun banyak insentif dinilai tidak efektif serta kurang tepat sasaran.
Lebih lanjut, anggaran untuk program prioritas Presiden RI Prabowo Subianto, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Desa Merah Putih juga perlu diimbangi dengan penerimaan baru.
“Program MBG tahap awal butuh Rp71 triliun dan bisa mencapai Rp400 triliun saat skala penuh. Tanpa reformasi pajak dan efisiensi belanja, ini hanya akan menambah beban utang,” ujarnya.
Achmad juga menegaskan perlunya disiplin fiskal yang kuat demi keberlanjutan pembangunan.nIa menyarankan agar pemerintah menurunkan target defisit menjadi di bawah 2% dalam jangka menengah, serta menata ulang seluruh belanja negara guna menghindari pemborosan.
“Program yang tidak produktif, belanja barang kementerian/lembaga yang bersifat seremonial, hingga berbagai proyek mercusuar yang tidak memberi multiplier effectnekonomi harus dikurangi atau dihapus,” terang Achmad.
Achmad mengatakan pelebaran defisit APBN juga perlu dicegah karena berpotensi membebani keberlanjutan fiskal Indonesia dalam jangka panjang.
“Ketika defisit dibiayai utang, maka negara harus membayar bunga dan pokok utang yang semakin membesar di tahun-tahun berikutnya. Inilah yang disebut sebagai risiko keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability risk),” ujar Achmad.
Achmad menjelaskan, dengan total utang negara yang telah mencapai Rp10.269 triliun atau 40,19% dari PDB pada 2024, dan tax ratio yang stagnan di kisaran 9-10%, Indonesia berada dalam tekanan fiskal (fiscal stress).
“Memang masih di bawah Maastricht Treaty 60%, tetapi perlu diingat bahwa tax ratio Indonesia masih di bawah 10%, sedangkan negara-negara OECD yang rasionya 60% memiliki tax ratio di atas 25%. Artinya, kemampuan bayar utang kita jauh lebih rendah,” ungkapnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar