Periskop.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan, penerbitan obligasi daerah hanya dapat dilakukan oleh pemerintah daerah yang memiliki kapasitas atau kondisi fiskal yang sehat. Selain itu, penggunaan dana dari obligasi daerah harus diarahkan untuk kegiatan produktif, seperti pembangunan infrastruktur dan layanan publik, bukan untuk belanja rutin yang bersifat konsumtif.

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi di Jakarta, Jumat (10/10) menjelaskan, ketentuan yang harus dipenuhi pemerintah daerah ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 87 Tahun 2024.

“Pengaturan ini dapat mencegah terjadinya risiko gagal bayar maupun risiko sistemik yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional, sekaligus memperkuat kredibilitas pasar obligasi daerah di Indonesia,” kata Inarno.

Dalam prosedurnya, pemerintah daerah yang berencana melakukan Penawaran Umum Obda/Sukda, wajib menyampaikan dokumen pernyataan pendaftaran kepada OJK. Salah satu dokumen utama yang harus dilampirkan dalam pernyataan pendaftaran yakni persetujuan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), terkait rencana penerbitan obligasi daerah (Obda) atau sukuk daerah (Sukda).

“Dalam melakukan penelaahan atas dokumen Pernyataan Pendaftaran tersebut, OJK akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk memastikan, penerbitan dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku dan tujuan penggunaan dana telah ditetapkan secara jelas,” kata Inarno.

Kemenkeu kemudian akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi fiskal daerah dan rencana penggunaan dana sebelum memberikan persetujuan penerbitan obligasi daerah. Langkah ini dilakukan guna memastikan, penerbitan obligasi atau sukuk daerah telah memenuhi ketentuan dalam PMK Nomor 87 Tahun 2024.

Salah satu persyaratan yang termuat dalam PMK Nomor 87 Tahun 2024 yaitu kewajiban pemenuhan rasio kemampuan keuangan (debt service coverage ratio/DSCR) minimal 2,5 kali. Hal ini untuk memastikan pemerintah daerah memiliki kapasitas fiskal yang cukup untuk memenuhi kewajiban bunga dan pokok utang.

Maksimum 75% APBD

Syarat lain yakni, pembatasan pembiayaan utang daerah maksimum 75% dari pendapatan dari APBD tahun sebelumnya yang tidak ditentukan penggunaannya, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 1 Tahun 2024, untuk menjaga keberlanjutan fiskal daerah.

Selanjutnya, kewajiban pengalokasian dana cadangan pelunasan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sehingga kemampuan bayar daerah terjamin tanpa mengganggu belanja prioritas.

Persetujuan dan pengawasan lintas kementerian, termasuk Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan, juga diperlukan sebelum penerbitan. Hal ini guna memastikan obligasi/sukuk daerah sesuai kebijakan fiskal nasional dan tidak menimbulkan ketidakseimbangan makroekonomi.

“Keseluruhan persyaratan tersebut dapat memastikan bahwa hanya pemerintah daerah dengan kondisi keuangan yang sehat, tata kelola yang baik, serta rencana penggunaan dana yang produktif yang dapat menerbitkan obligasi atau sukuk daerah,” kata Inarno.

Seperti diberitakan sebelumnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menerbitkan obligasi daerah atau Jakarta Collaboration Fund sebagai salah satu pembiayaan kreatif (creative financing). Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo pun tengah meminta persetujuan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa terkait hal tersebut.

“Kami meminta izin kepada Kementerian Keuangan untuk menyetujui Jakarta melakukan kreatif financing, di antaranya melakukan Jakarta Collaboration Fund atau obligasi daerah dan sebagainya, yang memang belum ada,” kata Pramono di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (7/10).

Menurut Pramono, creative financing perlu dilakukan untuk memastikan pembangunan Jakarta berjalan lancar meskipun mengalami penurunan anggaran, yakni dari Rp95,35 triliun menjadi Rp79,06 triliun.