Periskop.id- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia berjanji mempercepat izin untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Jika biasanya membutuhkan durasi setahun, kini Bahlil menjanjikannya menjadi tiga bulan.

“Panas bumi itu izinnya bisa sampai 1 tahun nggak selesai-selesai. Tetapi, sekarang kami sudah mulai ubah, cukup tiga bulan sudah selesai,” kata Bahlil dalam acara Indonesia International Sustainability Forum di Jakarta, Jumat (10/10). 

Pemangkasan durasi tersebut ditempuh melalui penyederhanaan regulasi, penyederhanaan proses tender, dan hal lainnya. Saat ini, Bahlil menilai Indonesia membutuhkan regulasi yang cepat, ramah investasi, bisa segera dieksekusi.

Dengan begitu, tidak membuat para pemangku kepentingan yang berminat untuk mengembangkan energi bersih di Indonesia terjebak oleh aturan yang berbelit-belit. “Sehingga kita bisa mencapai target dari apa yang sudah direncanakan,” tuturnya. 

Menurut Bahlil, langkah tersebut merupakan sebuah solusi yang bisa mempercepat transisi energi di Indonesia. Sebab salah satu yang menjadi masalah dalam mempercepat transisi energi dari fosil ke energi bersih adalah regulasi yang berbelit-belit, selain pendanaan.

Bahlil juga menyoroti hampir di semua negara, produk-produk yang dihasilkan oleh green industry (industri ramah lingkungan) dan green energy (energi ramah lingkungan) memiliki nilai jual yang lebih tinggi.

“Gak bisa lagi kita menunggu lama,” kata Bahlil.

Saat ini Indonesia menempati posisi nomor dua sebagai produsen listrik panas bumi secara global. Dengan kapasitas terpasang listrik dari sumber panas bumi sebesar 2.744 megawatt (MW), posisi Indonesia hanya berada di bawah Amerika Serikat yang memiliki 3.937 MW listrik dari panas bumi.

Sementara itu PT Pertamina (Persero) membidik Indonesia menjadi ‘Raja Panas Bumi’ atau menempati posisi nomor 1 di dunia pada 2029 melalui penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Dengan demikian, Indonesia akan menyalip Amerika Serikat yang saat ini menempati posisi teratas kapasitas terpasang PLTP.

Memacu Ekonomi Daerah

Sebelumnya, Pakar energi dari ITB Ali Ashat menyatakan pemanfaatan energi panas bumi tak hanya mendukung penurunan emisi karbon dan memenuhi kebutuhan energi nasional, tetapi turut memacu ekonomi daerah dan menyerap ribuan tenaga kerja.

Menurut dia, dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis, Indonesia berada di titik strategis dalam peta energi global, karena menyimpan cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia dengan potensi mencapai 23,7 gigawatt (GW). Kapasitas sebesar itu bukan hanya menopang ketahanan energi nasional, tetapi juga menjadi fondasi penting dalam transisi menuju energi bersih.

Dirinya menyampaikan pemanfaatan energi panas bumi tak terlalu berdampak pada lingkungan, seperti pencemaran air tanah. Menurutnya, sumber energi tersebut berada jauh di bawah permukaan bumi sehingga tidak mengganggu kebutuhan air warga.

Manfaat nyata terlihat dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang, Jawa Barat, yang telah beroperasi sejak 1983. Selama lebih dari 40 tahun, warga dan industri sekitar hidup harmonis berdampingan dengan energi hijau itu.

Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Gunung Kamojang Sudarman menyampaikan selain mendukung sektor pertanian, PLTP membuka lapangan kerja dan melahirkan inovasi lokal seperti olahan kulit kopi yang dikembangkan menjadi teh, tepung, hingga produk kecantikan.

"Banyak warga yang dulu menganggur kini punya pekerjaan. Ekonomi masyarakat pun tumbuh," ujar Sudarman.

Dampak ekonomi dari pemanfaatan panas bumi juga signifikan. Proyek-proyek di berbagai daerah telah membuka ribuan lapangan kerja baru, mendorong tumbuhnya UMKM, serta memperbaiki infrastruktur publik.

PLTP Kamojang dan juga PLTP Patuha, Jawa Barat, menjadi contoh pemasok energi bersih, dengan keduanya menciptakan 1.500 lapangan kerja langsung maupun tidak langsung. Keberadaannya juga sekaligus menjalankan program pemberdayaan masyarakat mulai dari pelatihan UMKM, koperasi desa, hingga dukungan pertanian organik.

Sementara itu, pengamat energi Komaidi Notonegoro menilai pemerintah sudah menunjukkan keseriusan mendorong pemanfaatan energi panas bumi. Ia menyoroti langkah-langkah terbaru seperti penandatanganan nota kesepahaman antara Pertamina dan PLN, serta keterlibatan Danantara.

"Sekarang ada upaya pemerintah ingin mengakselerasi perkembangan geothermal di aspek pengembangan dan pengusahaan," ujarnya.

Keunggulan panas bumi adalah sifatnya yang stabil dan tersedia 24 jam sehari. Berbeda dengan energi surya atau angin yang bergantung pada cuaca, panas bumi bisa menjadi sumber energi baseload yang konsisten.

Hal ini menjadikannya tulang punggung ideal bagi sistem energi bersih Indonesia. Sedangkan, pengamat ekonomi energi Universitas Padjajaran Yayan Satyaki menilai kunci sukses pengembangan geothermal ada pada kesiapan regulasi yang mendukung kolaborasi pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Ia mencontohkan Kenya yang berhasil mengembangkan geothermal sejak 1982 dengan model kemitraan inklusif. Pemerintah Indonesia sendiri kini tengah merevisi PP Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi, yang mencakup skema pelelangan yang lebih sederhana, insentif fiskal, jaminan pemulihan lingkungan, hingga penguatan aspek sosial agar proyek diterima masyarakat secara inklusif dan transparan.

Dari sisi swasta, sinergi juga semakin terlihat, seperti yang dilakukan antara PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) dan PT FirstGen Geothermal Indonesia. Kedua perusahaan itu menunjukkan komitmen sektor bisnis untuk mempercepat transisi energi sekaligus membuka peluang kerja hijau.

Sekadar informasi, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan transisi energi bersih akan menciptakan 24 juta lapangan kerja global pada 2030. Dengan potensi 24 ribu MW (24 GW), Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pusat ekonomi hijau di Asia.