Periskop.id - Pemerintah berencana mewajibkan penggunaan bahan bakar dengan kandungan etanol 10% (E10) pada seluruh produk bensin di Indonesia. Kebijakan ini merupakan langkah strategis yang disetujui Presiden Prabowo Subianto dalam upaya mengurangi emisi karbon dan menekan ketergantungan impor Bahan Bakar Minyak (BBM).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya menyampaikan bahwa rencana mandatori E10 ini telah mendapat persetujuan dari Presiden.

“Kemarin malam sudah kami rapat dengan Bapak Presiden. Bapak Presiden sudah menyetujui untuk direncanakan mandatori 10% etanol (E10),” kata Bahlil di Jakarta, Selasa (7/10), seperti dilansir oleh Antara.

Bahlil menambahkan, kewajiban pencampuran etanol dengan bensin ini bertujuan ganda.

“Agar tidak kita impor banyak dan juga untuk membuat minyak yang bersih, yang ramah lingkungan,” kata Bahlil.

Keunggulan E10

Menanggapi wacana ini, Dr. Leopold Oscar Nelwan, dosen Teknik Mesin dan Biosistem di IPB University, menilai kebijakan wajib E10 merupakan langkah menarik yang perlu dikaji secara mendalam. 

Ia mencatat bahwa bensin berbasis bioetanol sebenarnya sudah tersedia di pasaran, yaitu melalui produk Pertamax Green 95 milik Pertamina yang mengandung 5 persen bioetanol (E5), yang diatur melalui Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 252.K/HK.02/DJM/2023.

Menurut Dr. Leopold, sebagaimana dilaporkan melalui laman resmi IPB University pada Senin (13/10), penerapan E10 memiliki potensi keuntungan besar.

“Kebijakan ini bisa memberikan banyak keuntungan, tetapi juga tantangan teknis yang perlu diantisipasi,” ujarnya.

Ia menyebutkan bahwa E10 tidak hanya meningkatkan porsi energi terbarukan, tetapi juga mendukung strategi nasional menuju target emisi nol bersih (net zero emissions). Selain itu, kebijakan ini berpotensi mengembangkan industri bioetanol domestik, menyerap tenaga kerja, dan memperkuat kemandirian energi Indonesia.

“Jika bioetanol dapat diproduksi sepenuhnya di dalam negeri, kemandirian energi Indonesia akan semakin kuat,” kata Dr. Leopold.

Tantangan: Isu Pangan dan Risiko Korosi Mesin

Meskipun mendukung, Dr. Leopold menyoroti dua tantangan utama dalam implementasi E10:

  1. Persaingan Bahan Baku dengan Pangan
    Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sangat bergantung pada praktik budidaya dan proses industri bioetanol. Saat ini, sumber utama bioetanol masih didominasi biomassa generasi pertama (tanaman penghasil gula dan pati) yang bersaing dengan kebutuhan pangan.

    “Saat ini, sumber utama bioetanol masih didominasi oleh biomassa generasi pertama, yaitu tanaman penghasil gula dan pati. Masalahnya, bahan baku tersebut masih bersaing dengan kebutuhan pangan,” jelasnya. 

    Ia menyarankan pengembangan bahan baku sebaiknya diarahkan pada biomassa generasi kedua dan seterusnya yang tidak bersaing dengan pangan.
  2. Risiko Korosi Akibat Air
    Pencampuran etanol dengan bensin harus memenuhi persyaratan teknis ketat, terutama mengenai kadar air. Etanol memiliki sifat higroskopis atau dapat dengan mudah menyerap air. Jika kandungan air terlalu tinggi, yakni lebih dari 0,3% v/v, campuran bensin-etanol dapat mengalami pemisahan fase.

    “Jika kandungan air terlalu tinggi, campuran bensin-etanol bisa mengalami pemisahan fase yang berisiko menimbulkan korosi dan gangguan aliran bahan bakar. Masalah ini dapat diminimalkan jika kadar air campuran di bawah 0,15 persen m/m, seperti yang diterapkan pada E5,” jelasnya.

Dr. Leopold menambahkan, peningkatan kadar bioetanol wajib diiringi dengan pengembangan standar operasional prosedur (SOP) yang lebih ketat. Ia juga mengingatkan konsumen agar bahan bakar E10 sebaiknya tidak dibiarkan terlalu lama di tangki kendaraan, serupa dengan penggunaan biodiesel.

Di sisi lain, bioetanol memiliki angka oktan (RON) yang tinggi, yang dapat meningkatkan kinerja mesin berkompresi tinggi, sehingga menguntungkan kendaraan modern.