periskop.id - Etanol semakin sering dibicarakan sebagai salah satu solusi energi masa depan, setidaknya di Tanah Air beberapa waktu belakangan. Di tengah krisis iklim dan ketergantungan dunia pada minyak fosil, bahan bakar berbasis bio ini hadir sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan. 

Etanol sendiri merupakan alkohol hasil fermentasi tanaman seperti tebu, jagung, singkong, atau bahkan limbah biomassa.

Penggunaan etanol sebagai campuran bahan bakar bukanlah hal baru, kecuali jika kita bicara di Indonesia. Brasil sudah lebih dari empat dekade menjadikannya bagian utama dari strategi energi nasional. Amerika Serikat pun menjadikan campuran etanol 10% (E10) sebagai standar nasional, sementara beberapa negara Eropa mulai menguji campuran hingga 20%. Kini, Indonesia juga mulai melirik etanol sebagai bagian dari transisi energi bersih.

Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan Pertamax Green 95 dengan campuran bioetanol 5%. Langkah ini menjadi awal dari target yang lebih ambisius, yakni penerapan E10 atau campuran 10% etanol dalam bensin.

Tujuannya jelas: mengurangi impor minyak mentah, menekan emisi karbon, sekaligus membuka peluang ekonomi bagi petani lokal sebagai pemasok bahan baku.

Secara teknis, etanol memiliki nilai oktan yang tinggi. Artinya, ketika dicampurkan ke dalam bensin, kualitas pembakaran mesin menjadi lebih baik. Pembakaran yang lebih sempurna ini menghasilkan emisi gas buang yang lebih rendah, terutama karbon monoksida dan hidrokarbon. 

Dengan demikian, etanol bukan hanya sekadar bahan bakar alternatif, tetapi juga instrumen penting dalam memperbaiki kualitas udara.

Selain itu, etanol dianggap sebagai bahan bakar yang netral karbon. Tanaman yang menjadi bahan baku etanol menyerap karbon dioksida selama masa pertumbuhannya. Ketika etanol dibakar di mesin kendaraan, karbon dioksida yang dilepaskan relatif seimbang dengan yang diserap tanaman. Siklus ini membuat etanol lebih ramah lingkungan dibandingkan bensin murni.

Namun, transisi menuju bahan bakar beretanol tidak selalu mulus. Salah satu tantangan terbesar adalah ketersediaan bahan baku. Produksi etanol dalam jumlah besar membutuhkan pasokan tebu, jagung, atau singkong yang stabil. Jika tidak dikelola dengan baik, kebutuhan industri bioetanol bisa bersaing dengan kebutuhan pangan, sehingga menimbulkan masalah baru.

Selain itu, etanol memiliki sifat higroskopis, yaitu mudah menyerap air. Hal ini bisa menimbulkan risiko korosi pada tangki dan saluran bahan bakar, terutama pada kendaraan lama yang belum dirancang untuk kompatibel dengan bahan bakar campuran etanol. Kendaraan modern relatif lebih siap, tetapi infrastruktur distribusi dan penyimpanan tetap harus diperhatikan.

Meski begitu, banyak negara tetap optimistis. India, misalnya, menargetkan pencampuran etanol 20% (E20) pada 2025. Uni Eropa sedang menguji coba E20 sebagai standar baru. Sementara itu, Brasil bahkan sudah menggunakan E27 sebagai campuran wajib di seluruh SPBU. Fakta ini menunjukkan bahwa etanol bukan sekadar wacana, melainkan tren global yang terus berkembang.

Indonesia sendiri memiliki potensi besar untuk mengembangkan bioetanol. Sebagai negara agraris, produksi tebu dan singkong bisa diarahkan tidak hanya untuk pangan, tetapi juga energi. Produk sampingan industri gula berupa molase dapat diolah menjadi etanol dalam jumlah besar. Jika dikelola dengan baik, Indonesia bisa mengurangi impor BBM sekaligus meningkatkan pendapatan petani.

Selain aspek teknis dan ekonomi, penggunaan etanol juga memiliki dimensi sosial. Dengan memperluas pasar bioetanol, pemerintah dapat menciptakan lapangan kerja baru di sektor pertanian, logistik, dan energi. Hal ini sejalan dengan visi pembangunan berkelanjutan yang menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat.

Meski demikian, adopsi etanol tetap membutuhkan regulasi yang jelas. Pemerintah harus memastikan standar teknis kendaraan, kualitas distribusi, serta insentif bagi produsen bioetanol. Tanpa dukungan kebijakan yang konsisten, program ini bisa terhambat oleh masalah teknis maupun ekonomi.

Ke depan, etanol diproyeksikan menjadi bagian penting dari bauran energi nasional. Dengan kombinasi kebijakan yang tepat, dukungan industri, dan kesiapan masyarakat, etanol bisa menjadi jembatan menuju era energi bersih. Tidak hanya mengurangi emisi, tetapi juga memperkuat kemandirian energi Indonesia.

Etanol bukanlah solusi tunggal, tetapi ia adalah salah satu langkah nyata dalam perjalanan panjang menuju energi berkelanjutan. Dunia sedang bergerak ke arah itu, dan Indonesia tidak boleh tertinggal. 

Kelebihan Etanol

  • Ramah lingkungan, menurunkan emisi CO, HC, dan NOx
  • Angka oktan tinggi, meningkatkan performa mesin
  • Energi terbarukan, berbasis hasil pertanian
  • Netral karbon, siklus CO₂ lebih seimbang
  • Membuka peluang ekonomi bagi petani dan industri lokal

Kekurangan Etanol

  • Kandungan energi lebih rendah, konsumsi BBM bisa lebih boros
  • Higroskopis, mudah menyerap air dan berisiko korosi
  • Membutuhkan pasokan bahan baku besar, bisa bersaing dengan pangan
  • Infrastruktur distribusi dan penyimpanan perlu penyesuaian
  • Kendaraan lama berisiko tidak kompatibel