periskop.id - Harga minyak dunia kembali melemah pada perdagangan Selasa (Rabu waktu Jakarta), setelah sehari sebelumnya jatuh 2%. Investor kini fokus pada perkembangan negosiasi damai untuk mengakhiri perang Rusia–Ukraina, kecemasan terhadap pasokan yang melimpah, serta keputusan suku bunga Amerika Serikat yang akan segera diumumkan.
Melansir Antara, Rabu (10/12), harga minyak mentah Brent ditutup turun 55 sen atau 0,88% ke US$61,94 per barel. Sementara U.S. West Texas Intermediate (WTI) merosot 63 sen atau 1,07% menjadi US$58,25 per barel.
Penurunan lanjutan ini terjadi setelah kedua kontrak minyak pada Senin terkoreksi lebih dari US$1 per barel, menyusul pemulihan produksi Irak di ladang minyak West Qurna 2 milik Lukoil, salah satu yang terbesar di dunia.
Pemerintah Ukraina, dipimpin Presiden Volodymyr Zelenskiy, akan menyampaikan proposal perdamaian yang telah direvisi kepada Amerika Serikat usai pertemuan Zelenskiy dengan para pemimpin Prancis, Jerman, dan Inggris di London. Kesepakatan damai antara Ukraina dan Rusia berpotensi mencabut sanksi internasional terhadap perusahaan-perusahaan Rusia dan membuka kembali suplai minyak yang selama ini tertahan.
“Banyak pelaku pasar merasa Rusia tidak serius soal perjanjian damai dan hanya sekadar membeli waktu,” ujar Andrew Lipow, Presiden Lipow Oil Associates.
Sementara itu, hampir setengah warga di ibu kota Ukraina, Kyiv, mengalami pemadaman listrik pada Selasa akibat serangan terbaru Rusia terhadap infrastruktur energi negara tersebut.
Dalam upaya menekan pendapatan minyak Rusia, negara-negara Group of Seven (G7) dan Uni Eropa dikabarkan tengah membahas penggantian mekanisme batas harga ekspor minyak Rusia dengan pelarangan penuh layanan maritim, menurut sumber yang mengetahui isu tersebut.
Lonjakan kargo minyak yang berada di laut yang meningkat 2,5 juta barel per hari sejak pertengahan Agustus dan masih terus naik, juga menekan harga minyak.
“Satu-satunya alasan Brent crude tidak jatuh lebih cepat dan lebih dalam adalah sanksi AS terhadap Rosneft dan Lukoil,” kata Bjarne Schieldrop, Kepala Analis Komoditas SEB.
Fokus Beralih ke Laporan IEA dan Keputusan The Fed
Pelaku pasar kini menunggu laporan terbaru International Energy Agency (IEA) yang akan memberikan gambaran mengenai proyeksi pasokan global.
“Penggerak pasar berikutnya kemungkinan adalah laporan bulanan IEA untuk Desember yang dirilis 11 Desember. Laporan sebelumnya telah menyoroti potensi surplus minyak pada 2026,” kata Kelvin Wong, Analis Pasar Senior OANDA.
Jika IEA kembali menyoroti risiko surplus, Wong memperkirakan harga WTI bisa bergerak turun untuk menguji area support di US$56,80–US$57,50 per barel.
Sementara itu, data American Petroleum Institute (API) menunjukkan persediaan minyak mentah AS menyusut 4,78 juta barel pekan lalu. Namun, stok bensin justru naik 7 juta barel, dan persediaan distillate bertambah 1,03 juta barel. Data resmi dari Energy Information Administration (EIA) akan dirilis Rabu waktu AS.
Pasar juga menunggu keputusan kebijakan moneter Federal Reserve yang akan diumumkan Rabu. Saat ini, pelaku pasar memprediksi 87% kemungkinan bahwa The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin. Suku bunga yang lebih rendah biasanya mendukung permintaan minyak karena biaya pinjaman turun. Namun beberapa analis menilai dampaknya terhadap harga minyak saat ini mungkin masih terbatas.
Tinggalkan Komentar
Komentar