periskop.id - Direktorat Siber Polda Metro Jaya tengah mendalami jejak digital seorang terduga pelaku yang juga merupakan anak berkonflik dengan hukum (ABH) yang diduga merakit bom dan meledakkannya di lingkungan SMAN 72 Jakarta.
Penyelidikan ini menyoroti laman atau situs yang diakses pelaku sebelum melakukan aksinya.
“Untuk seluruh media online termasuk juga situs yang diakses atau diikuti oleh anak yang berkonflik dengan hukum saat ini masih dalam proses pendalaman,” ujar Dirresiber Polda Metro Jaya, Kombes Pol Roberto GM Pasaribu dikutip dari Antara, Rabu (12/11).
Roberto menjelaskan, analisis dilakukan melalui digital forensik di laboratorium. Sebuah laptop yang sempat tidak berada di tangan pelaku baru ditemukan oleh penyidik dan diserahkan ke Direktorat Siber pada 9 November. Perangkat ini diyakini menyimpan data penting terkait aktivitas daring pelaku.
“Nantinya kami akan menyampaikan mengenai apa saja yang sudah pernah dipelajari, dikunjungi ataupun dilakukan distribusi oleh ABH di dalam digital device yang ada,” tambah Roberto.
Ia menegaskan koordinasi dengan Komdigi juga dilakukan untuk membatasi atau memblokir situs berbahaya yang terpantau.
Kasus ini menimbulkan keprihatinan karena empat dari tujuh bom rakitan meledak di lingkungan sekolah, tepatnya di masjid SMAN 72 Jakarta pada 7 November.
“Jadi dari tujuh, empat yang meledak, tiga yang masih aktif dan sudah kita kembalikan di Markas Gegana Satbrimob Polda Metro Jaya,” jelas Dansat Brimob Polda Metro Jaya, Kombes Pol Henik Maryanto.
Henik menambahkan, terdapat dua lokasi peledakan: masjid sekolah dan area bank sampah serta taman baca. Fakta ini menunjukkan bahwa pelaku menargetkan ruang publik yang dekat dengan aktivitas siswa dan masyarakat sekitar.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), kasus keterlibatan remaja dalam aksi teror meningkat dalam lima tahun terakhir. Laporan tahun 2024 mencatat setidaknya 12 kasus remaja yang terpapar konten radikal daring, sebagian besar melalui media sosial dan forum terbuka.
Riset dari UNESCO (2023) juga menyoroti bahwa akses bebas ke informasi berbahaya di internet menjadi salah satu faktor utama anak muda rentan terpapar ideologi ekstrem. Oleh karena itu, penguatan literasi digital dan pengawasan konten daring menjadi langkah krusial.
Kasus di SMAN 72 Jakarta menjadi pengingat bahwa ancaman radikalisasi digital nyata adanya. Aparat menekankan pentingnya kolaborasi antara penegak hukum, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk mencegah anak-anak mengakses konten berbahaya.
Tinggalkan Komentar
Komentar