periskop.id - Insiden ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta baru-baru ini meninggalkan jejak trauma bagi banyak siswa. Dalam situasi seperti ini, sekolah dituntut tidak hanya fokus pada pemulihan fisik, tetapi juga menyediakan ruang aman bagi anak-anak untuk menenangkan diri dan memulihkan kondisi psikologis mereka.

Psikolog Universitas Gadjah Mada, Novi Poespita Candra, menekankan perlunya sekolah membentuk Ruang Jeda

“Anak-anak diminta bermeditasi sejenak, diam tanpa aktivitas tertentu. Ini membantu menenangkan diri dan menurunkan kecemasan,” ujarnya dilansir dari Antara, Rabu (12/11). 

Konsep ini sederhana namun efektif dalam memberi kesempatan siswa mengatur emosi sebelum kembali ke aktivitas belajar.

Novi menjelaskan bahwa trauma pada anak dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari ketakutan berlebihan, penarikan diri, hingga perilaku agresif. Ada pula yang tampak terlalu ceria sebagai mekanisme menutupi luka batin. Oleh karena itu, sekolah harus peka terhadap tanda-tanda ini dan menyediakan wadah ekspresi yang sehat.

Salah satu pendekatan yang disarankan adalah Social Emotional Learning (SEL). Aktivitas seperti melukis, bermain musik, menulis jurnal, atau diskusi kelompok kecil dapat membantu siswa mengenali dan menyalurkan emosinya. Penelitian UNICEF (2023) menunjukkan bahwa program SEL di sekolah mampu menurunkan gejala kecemasan hingga 30% pada anak pascabencana.

Novi menambahkan, kerja sama antara sekolah dan orang tua sangat penting. Hasil kegiatan SEL dapat dijadikan portofolio perkembangan emosional siswa yang dibahas bersama wali murid. Dengan begitu, orang tua turut memahami kondisi anak dan dapat mendukung proses pemulihan di rumah.

“Anak perlu ruang aman untuk terkoneksi dengan Tuhan, sesama, dan alam sehingga mereka tumbuh kembali dengan kepercayaan diri dan empati yang lebih kuat,” jelasnya. 

Hal ini sejalan dengan riset WHO (2022) yang menekankan pentingnya dukungan spiritual dan sosial dalam rehabilitasi psikologis anak.

Jika gejala trauma tidak kunjung membaik, Novi menegaskan perlunya konsultasi dengan psikolog. Intervensi profesional dapat mencegah trauma berkembang menjadi gangguan mental jangka panjang, seperti PTSD.

Data Kementerian Kesehatan RI (2024) mencatat bahwa sekitar 12% anak korban bencana berisiko mengalami PTSD bila tidak mendapat penanganan dini.

Di sisi lain, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) telah menginisiasi dukungan psikososial berbasis Psychological First Aid (PFA) bagi siswa, guru, dan orang tua di SMAN 72 Jakarta. Program ini melibatkan 56 psikolog dari HIMPSI, Polri, serta dinas terkait di DKI Jakarta. 

“Layanan psikososial pascabencana bertujuan menghilangkan trauma warga sekolah,” ujar Sekjen Kemendikdasmen, Suharti.

Upaya ini menunjukkan bahwa pemulihan trauma membutuhkan kolaborasi lintas pihak. Sekolah, orang tua, pemerintah, dan tenaga profesional harus bersinergi agar anak-anak dapat kembali merasa aman.