periskop.id - Di balik hamparan hijau kebun teh Nusantara, terdapat ribuan tangan petani kecil dan buruh tani yang menjadi penjaga kedaulatan industri teh Indonesia. Mereka bekerja di lahan-lahan sempit, sering kali kurang dari satu hektare per keluarga, namun menjadi tulang punggung produksi teh nasional.
Data menunjukkan bahwa sekitar 46% lahan teh Indonesia digarap oleh perkebunan rakyat, 34% oleh BUMN, dan sisanya oleh swasta. Kontribusi petani kecil terhadap produksi teh kering nasional mencapai 35% pada 2020, sebuah angka yang menunjukkan peran vital mereka meski kerap luput dari perhatian publik.
Mengutip Antara, Kamis (21/8) dari tulisan Kuntoro Boga Andri, Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian namun, tantangan yang dihadapi petani teh rakyat sangat kompleks. Produktivitas kebun rendah akibat tanaman tua dan minim perawatan, keterbatasan modal menghambat peremajaan, dan posisi tawar lemah karena hanya menjual pucuk basah ke tengkulak dengan harga yang ditentukan sepihak.
Tekanan ekonomi membuat banyak petani meninggalkan kebun. Generasi muda di sentra teh seperti Jawa Barat enggan melanjutkan usaha keluarga, memilih bekerja di pabrik atau merantau. Akibatnya, banyak lahan teh rakyat terbengkalai atau dialihkan ke komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan.
Ironi semakin terasa ketika hanya sekitar 32% produksi teh Indonesia diekspor, yakni sekitar 45 ribu ton pada 2022. Sebagian besar justru terserap pasar domestik, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri minuman. Padahal, konsumsi teh dunia terus meningkat, dari 6,89 juta ton pada 2022 dan diproyeksikan mencapai 7,44 juta ton pada 2025.
Dalam peta perdagangan global, Indonesia yang dulu dikenal lewat Java Tea kini berada di pinggir arena. China dan India mendominasi produksi dunia, disusul Kenya, Sri Lanka, Turki, dan Vietnam. Indonesia hanya menyumbang sekitar 2% dari output global, berada di peringkat ketujuh.
Produksi teh nasional terus menurun, dari 137 ribu ton pada 2021 menjadi 124 ribu ton pada 2022. Lahan teh pun menyusut drastis dalam dua dekade terakhir, dari 167 ribu hektare menjadi sekitar 100–110 ribu hektare. Penurunan ini berdampak langsung pada volume produksi dan daya saing ekspor.
Ekspor teh Indonesia juga mengalami kemerosotan. Dari 79 ribu ton pada 2010, kini hanya tersisa 45 ribu ton dengan nilai sekitar 89,9 juta dolar AS. Pangsa ekspor global Indonesia tak sampai 2,5%. Negara seperti Vietnam justru berhasil menyalip dengan strategi produksi dan kualitas yang lebih agresif.
Importir besar dunia seperti Pakistan, Mesir, dan Inggris kini lebih memilih teh dari Kenya, Sri Lanka, atau India. Sementara Indonesia kehilangan posisi di pasar utama, hanya mengandalkan pembeli tradisional seperti Malaysia, Rusia, Amerika Serikat, China, dan Pakistan—dengan volume yang relatif kecil.
Di dalam negeri, tantangan lain muncul: banjirnya teh impor murah. Demi efisiensi biaya, banyak produsen minuman mendatangkan daun teh kualitas rendah dari luar negeri. Teh asing ini menguasai segmen teh curah dan kemasan ekonomis, memperberat persaingan bagi petani lokal.
Salah satu akar persoalan adalah lemahnya sektor hilirisasi. Indonesia lebih banyak mengekspor teh dalam bentuk mentah, bukan produk olahan bermerek. Nilai tambah hilang di luar negeri, sementara petani dan industri lokal hanya mendapat remah-remah dari rantai pasok global.
Minimnya investasi dalam riset varietas unggul dan teknologi pascapanen juga menjadi hambatan. Padahal, teh Indonesia dikenal memiliki kandungan katekin tinggi. Namun, proses fermentasi dan penyangraian yang kurang optimal membuat aroma teh hitam kita kalah bersaing dengan produk India atau Sri Lanka.
Untuk membalik keadaan, dibutuhkan strategi nasionalisme ekonomi berbasis teh. Mulai dari investasi industri olahan, perlindungan pasar domestik, kampanye “Cinta Teh Nusantara”, dukungan teknologi bagi petani dan UMKM, hingga penguatan identitas geografis seperti Teh Java Preanger atau Teh Sumatera.
Tinggalkan Komentar
Komentar