periskop.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memperingatkan adanya potensi serius pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang baru disahkan oleh DPR. Lembaga ini mendesak agar pemerintah dan DPR memastikan beleid tersebut selaras dengan kewajiban negara melindungi HAM.

"Komnas HAM meminta pemerintah dan DPR menghormati hak konstitusional warga negara dan organisasi masyarakat sipil yang akan mengajukan Judicial Review atas KUHAP sebagai upaya memperjuangkan hak untuk memperoleh keadilan," kata Ketua Komnas HAM Anis Hidayah dalam keterangan resminya, Jakarta, Sabtu (22/11).

RKUHAP disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (18/11). Beleid ini disahkan sebagai tindak lanjut UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Sesuai fungsinya, Komnas HAM telah melakukan kajian mendalam terhadap draf RKUHAP sejak 2023. Kajian ini fokus memastikan beleid tersebut selaras dengan kewajiban negara melindungi HAM.

Keterbatasan Praperadilan dan Alat Bukti

Komnas HAM menemukan setidaknya 11 isu penting yang dinilai berpotensi melanggar HAM jika diterapkan, mulai dari tahap penyelidikan hingga putusan peradilan.

Salah satu sorotan utama adalah ketentuan mengenai penyelidikan dan penyidikan. Kewenangan penggunaan upaya paksa (penangkapan, penahanan, penyadapan) harus diikuti peningkatan mekanisme pengawasan ketat, baik internal maupun eksternal.

Komnas HAM menilai hal ini penting untuk memitigasi penyalahgunaan wewenang dan potensi kekerasan terhadap saksi, tersangka, maupun korban.

Isu krusial lain adalah mekanisme praperadilan. KUHAP membatasi praperadilan hanya untuk memeriksa aspek formil atau administrasi. Padahal, aspek materiil (seperti intimidasi, kekerasan, atau penyiksaan) merupakan sorotan utama publik dalam penegakan hukum.

Komnas HAM menilai mekanisme yang diatur dalam KUHAP belum efektif mengontrol kualitas penegakan hukum secara memadai.

Sorotan juga diberikan pada perubahan definisi alat bukti. Frasa "segala sesuatu yang diperoleh secara legal" dinilai terlalu luas dan multitafsir.

Hal ini berisiko membuka peluang penyalahgunaan bukti ilegal. KUHAP perlu mencantumkan mekanisme pengujian admisibilitas alat bukti untuk memastikan bukti diperoleh secara layak.

Selain itu, Komnas HAM menemukan KUHAP tidak mencantumkan ketentuan tegas terkait konsep koneksitas (perkara pidana yang melibatkan militer dan sipil). Aturan yurisdiksi peradilan yang didasarkan pada "titik berat kerugian" dinilai masih kabur.

Selain permintaan Judicial Review, Komnas HAM juga meminta salinan resmi KUHAP yang telah disahkan untuk dikaji lebih lanjut.

Komnas HAM juga meminta Pemerintah membuka ruang dan memenuhi hak partisipasi publik yang bermakna dalam pembentukan peraturan pelaksana KUHAP.

Terakhir, Komnas HAM meminta Pemerintah mempertimbangkan waktu transisi yang memadai sebelum KUHAP berlaku efektif, mencontoh UU KUHP yang memiliki masa transisi 3 tahun sejak disahkan.