Periskop.id - Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta mencatat, 1.917 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di Jakarta sejak Januari hingga pertengahan November 2025.
Kepala Dinas PPAPP Iin Mutmainnah di Jakarta, Senin (24/11) mengakui, kasus kekerasan terhadap anak di Jakarta masih tinggi sampai dengan saat ini. “Jadi, trennya memang naik setiap tahunnya. Jumlah kasus hingga November ini sudah menyamai kasus di tahun 2024,” ucapnya.
Menurut dia, kenaikan kasus tersebut salah satunya disebabkan korban, keluarga atau warga yang berani melaporkan kasus tersebut. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kini memang memiliki beragam kanal untuk pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Artinya, kesadaran masyarakat semakin tinggi dan berani mengungkapkan kasus kekerasan yang dialami perempuan dan anak. Kami miliki 44 pos pengaduan dengan dua tenaga ahli yakni konselor dan para legal. Mereka kita tempatkan di 44 kecamatan atau RPTRA," tuturnya.
Iin merinci, kasus yang terbanyak adalah kasus kekerasan seksual pada anak dengan 588 kasus atau 21,9%, disusul perempuan jadi korban KDRT dengan 412 kasus atau 15,4%. Kemudian perempuan jadi korban kekerasan psikis 318 kasus atau 11,9% dan perempuan jadi korban kekerasan fisik sebanyak 276 kasus atau 10,3%.
“Dari komposisi perempuan dan anak, anak itu lebih tinggi,” serunya.
Lokasi kekerasan kepada perempuan dan anak itu paling banyak terjadi di dalam rumah dengan 1.132 kasus atau 56,3%. Lalu, di jalan dengan 135 kasus atau 6,7%. Selanjutnya di kos-kosan 126 kasus atau 6,3%, di sekolah sebanyak 119 kasus atau 5,9%, di kontrakan 88 kasus atau 4,4%, dan di hotel 86 kasus atau 4,3%.
Kemudian untuk terlapor pelaku kekerasan perempuan dan anak paling banyak adalah suami dengan 503 kasus atau sekitar 22,3%. Kemudian dilakukan oleh teman sebanyak 351 orang atau 15, 7%, dan orang tidak dikenal sebanyak 281 kasus atau 12,6%.
Lalu, kekerasan yang dilakukan oleh tetangga sebanyak 203 kasus atau 9,1%, kekerasan dilakukan ayah kandung ada 197 kasus dengan 8,8%, dan pacar dengan 147 kasus atau sekitar 6,6%.
Sementara untuk korban kekerasan anak dan perempuan terbanyak berdasarkan kota atau KTP korban yang terbanyak ada di Jakarta Timur dengan 513 korban. Diikuti Jakarta Selatan 337 korban, dan Jakarta Barat 316 korban.
Untuk menyikapi persoalan itu, kata dia, pihaknya berupaya melakukan potensi mitigasi risiko dengan menyusun revisi Perda Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan. Menurut Iin, perda ini akan direvisi menjadi dua peraturan daerah pada tahun 2026, yakni Perda Perlindungan Perempuan dan Perda Penyelenggaraan Kota dan Kabupaten Layak Anak
"Itu nantinya masuk dalam substansi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dalam Perda Nomor 8 Tahun 2011 itu belum ada tentang TPKS. Maka, pada 2026 kami akan membahas untuk memasukkan substansi di UU TPKS ini,” ujarnya.
Ia menyebut, para korban atau keluarga dapat melapor secara langsung dengan mendatangi Unit Pelayan Teknis (UPT) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), atau melalui layanan Puspa, atau melalui layanan mobile untuk konseling. Selain itu, pihaknya juga memberikan 44 titik pos pengaduan yang masing-masing disertai dengan dua tenaga ahli, yaitu konselor dan paralegal, yang ditempatkan di 44 kecamatan atau RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak).
Memperkuat Ekosistem
Terpisah, Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Wamen PPPA), Veronica Tan menyerukan pentingnya kerja bersama dalam memperkuat ekosistem perlindungan anak. Pernyataan itu disampaikannya dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (24/11), melalui Badan Komunikasi Pemerintah (Bakom RI), menyikapi sejumlah kejadian perundungan terhadap anak.
"Pencegahan perundungan atau bullying secara normatif kita sering dengar, tapi bagaimana menjadikan tanggung jawab bersama. Tidak bekerja sendirian, tentu ajakan keluarga, orang tua, pemerintah, lembaga, masyarakat tentunya," tuturnya.
Ia menilai, upaya pencegahan perundungan tidak dapat berhasil apabila dilakukan secara terpisah dan tanpa komitmen kolektif. Veronica juga menyoroti kebutuhan mendesak untuk meningkatkan literasi digital bagi anak dan orang tua, serta memperkuat pengawasan terhadap informasi yang beredar di media sosial.
Menurutnya, peran keluarga sangat penting dalam membangun kebiasaan digital yang sehat. Sementara pemerintah terus memperluas edukasi publik agar risiko di ruang digital dapat ditekan.
Ia turut mengajak media untuk memastikan, narasi publik terkait anak selalu berpihak pada kepentingan terbaik anak dan tidak memperburuk kondisi psikologis mereka.
“Kalau bisa dibuat satu pedoman komunikasi publik berperspektif perlindungan anak yang menjadi acuan bersama bagi pemerintah, guru, masyarakat, sampai kepada media yang menyampaikan informasi terkait anak,” ungkapnya.
Lebih jauh, Veronica menekankan, budaya sekolah ramah anak harus menjadi fondasi utama dalam pencegahan kekerasan dan perundungan. Seluruh warga sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, hingga peserta didik, harus membangun lingkungan yang aman dan inklusif.
“Sektor pendidikan kami mendorong penerapan Satuan Pendidikan Ramah Anak sebagai fondasi pembentukan budaya sekolah yang aman, peduli, inklusif, dan bebas kekerasan,” imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan, mereka akan terus mengawasi pemberitaan yang berpotensi mengungkap identitas Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Ketua KPAI Margaret Aliyatul Maimunah menegaskan, menjaga kerahasiaan identitas anak merupakan amanat Undang-Undang dan tanggung jawab bersama seluruh pihak.
“Mereka tentu juga harus kita bantu supaya tidak semakin mendapatkan justifikasi, kemudian kehilangan identitas karena banyaknya pemberitaan yang justru mengarah kepada hal-hal yang negatif,” pungkasnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar