periskop.id - Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan pada awal perdagangan hari ini, seiring dengan tren yang terjadi di kawasan Asia. Pada pembukaan pasar spot, Rabu (24/9), rupiah terdepresiasi 0,17% ke level Rp 16.693 per dolar Amerika Serikat (AS) dibandingkan posisi penutupan kemarin.

Kondisi serupa juga dialami oleh mayoritas mata uang utama Asia yang kompak menghuni zona merah. 

Pelemahan paling dalam dialami oleh baht Thailand yang terkoreksi 0,38%, diikuti oleh peso Filipina sebesar 0,29%. 

Sejauh ini, hanya dolar Hong Kong dan rupee India yang mampu bertahan pada posisi stagnan tanpa penguatan.

Tekanan terhadap mata uang Asia ini bersumber dari kembalinya kekuatan dolar AS di pasar global. Hal ini tercermin pada pergerakan Dollar Index, yang mengukur posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia.

Pada pukul 09:12 WIB, indeks tersebut terpantau menguat 0,09% ke 97,325, setelah sebelumnya melemah selama dua hari beruntun.

Penguatan mata uang Negeri Paman Sam tersebut dipicu oleh pernyataan terbaru dari Gubernur Bank Sentral AS The Federal Reserve, Jerome ‘Jay’ Powell. 

Dalam sebuah kesempatan, Powell kembali menekankan adanya berbagai risiko yang mengintai perekonomian AS ke depan.

Berbicara dalam sebuah acara di Rhode Island, Powell menegaskan bahwa The Fed harus menyeimbangkan risiko antara laju inflasi yang masih di atas target 2% dan kondisi pasar tenaga kerja yang cenderung lesu. 

Pernyataan Powell ini ditafsirkan oleh pelaku pasar sebagai sikap yang kurang dovish (kurang condong ke pelonggaran moneter). 

Akibatnya, prospek pemangkasan suku bunga menjadi kurang pasti, sehingga mendorong investor untuk kembali membeli dolar AS dan menekan mata uang lainnya, termasuk rupiah.