periskop.id - Mata uang rupiah kembali mengalami tekanan pada perdagangan Senin (15/12/2025). Rupiah ditutup melemah 21 poin di level Rp16.667, setelah sebelumnya sempat melemah 25 poin dari penutupan Jumat lalu di level Rp16.647. Untuk perdagangan besok, rupiah diprediksi akan bergerak fluktuatif dengan kisaran Rp16.660-Rp16.690.
“Penguatan indeks dolar AS hari ini memberi tekanan terhadap pergerakan rupiah, sementara sentimen pasar menunggu data pekerjaan dan inflasi AS yang akan dirilis pekan ini,” ulas Pengamat Ekonomi, Mata Uang & Komoditas, Ibrahim Assuaibi, Senin (15/12).
Sinyal kebijakan moneter dovish dari Federal Reserve (The Fed) menjadi sorotan utama. Setelah memangkas suku bunga minggu lalu, The Fed memberi sinyal akan mulai membeli obligasi pemerintah jangka pendek mulai Desember dengan laju bulanan sebesar $40 miliar. Aktivitas ini dipandang menghadirkan prospek dovish untuk kebijakan moneter, terutama karena kondisi likuiditas lokal kemungkinan akan semakin melonggar dengan suntikan dana tunai.
“Fokus investor minggu ini tertuju pada data pekerjaan sektor non-pertanian AS dan data inflasi (CPI) November yang akan dirilis pada Selasa dan Kamis,” sebut Ibrahim.
Data pekerjaan yang biasanya dirilis setiap Jumat pertama bulan ini tertunda akibat penutupan pemerintahan AS di Oktober–November. Pasar akan mengamati tanda pelonggaran pertumbuhan pasar tenaga kerja dan pendinginan inflasi sebagai pertimbangan The Fed dalam kebijakan suku bunga.
Selain itu, perkembangan geopolitik turut mempengaruhi sentimen global. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy menawarkan untuk menghentikan aspirasi negaranya bergabung dengan NATO dalam pembicaraan dengan utusan AS di Berlin. Sementara itu, pemimpin oposisi Venezuela Maria Corina Machado meninggalkan negaranya untuk menerima Hadiah Nobel Perdamaian, seiring meningkatnya dampak penyitaan kapal tanker minyak oleh pemerintahan AS sebelumnya.
Dari dalam negeri, Ibrahim mengatakan 2026 berpotensi menjadi salah satu tahun paling tidak terduga dalam beberapa dekade terakhir. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melambat, dan risiko geopolitis maupun disrupsi teknologi meningkat.
Menurutnya, perlambatan global dipicu oleh melemahnya perdagangan dunia, restrukturisasi rantai pasok untuk keamanan, utang publik tinggi, dan perkembangan teknologi yang lebih cepat dibanding regulasi.
Valuasi aset di sejumlah negara berada di posisi rentan, sementara sistem perbankan belum pulih sepenuhnya akibat tekanan kredit bermasalah. Era suku bunga tinggi untuk waktu lama juga berpotensi menekan dunia usaha menjelang 2026.
“Jika faktor-faktor tersebut disatukan, tahun depan bisa menjadi periode penuh ketidakpastian, dengan risiko perlambatan ekonomi global lebih tajam, proteksionisme meningkat, ketidakstabilan energi, konflik berkepanjangan, hingga disrupsi teknologi yang melampaui kemampuan adaptasi,” pungkas Ibrahim.
Tinggalkan Komentar
Komentar