Periskop.id - Kementerian Pertahanan (Kemhan) kembali mengirimkan bantuan logistik untuk warga korban perang di Gaza, melalui metode air drop atau dijatuhkan dari pesawat angkut Hercules milik TNI AU, Rabu (13/8). 

Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan (Letjen) TNI Tri Budi Utomo menjelaskan, bantuan yang akan dikirim dari Lanud Halim Perdanakusuma hari ini seberat 800 ton. Terdiri dari makanan, obat-obatan hingga pakaian untuk warga di Gaza.

"Semua bantuannya mudah-mudahan bisa untuk dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat yang ada di Gaza ya," kata Tri saat jumpa pers di Lanud Halim Perdanakusuma, Rabu.

Tri menjelaskan, pengiriman ini merupakan bagian dari misi perdamaian yang dijalankan Indonesia. Ini juga bukan pengiriman pertama yang dilakukan. Sebelumnya, TNI telah mengirimkan bantuan logistik dengan metode yang sama ke beberapa titik lokasi di Gaza.

Tri melanjutkan, dalam pengiriman kali ini, TNI akan bekerja sama dengan pihak militer Yordania. Nantinya pihak Yordania akan memberikan informasi lokasi penjatuhan logistik tersebut.

Berdasarkan informasi yang diterima TNI dari pihak Yordania, tercatat ada 10 titik aman di wilayah Gaza yang akan menjadi lokasi dropping bantuan. "Lokasi sudah dicek dan steril dan tentang keamanannya.Jadi mereka sudah menyiapkan titik-titik air drop-nya dengan baik," kata Tri

Tri pun menanggapi pertanyaan terkait kemungkinan adanya upaya pencegahan yang dialami TNI oleh militer Israel saat mengirim bantuan tersebut.

"Jadi dari tanggal 1 Agustus sampai tanggal 24 Agustus ini Israel sudah membuka khusus untuk bantuan ini. Jadi pihak Israel memberikan luang untuk kita memberikan bantuan," jelas Tri

Dengan adanya bala bantuan ini, Tri berharap warga yang menjadi korban perang di Gaza dapat terbantu untuk tetap bertahan hidup.

Risiko Besar

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Sugiono mengungkapkan harapannya supaya bantuan kemanusiaan yang akan dikirimkan Indonesia ke Jalur Gaza, termasuk bantuan 10.000 ton beras, akan dikirim via jalur darat dan tidak diterjunkan dari udara (airdrop).

“Semoga tidak di-airdrop. Kami berharap jalur bantuan kemanusiaan segera dibuka. Kami paham airdrop risikonya besar,” kata Sugiono setelah menerima Menlu Belarus Maxim Ryzhenkov di Kantor Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta, Selasa (5/8).

Dia mengatakan, penerjunan bantuan dari udara berisiko besar dan dapat membahayakan masyarakat Palestina di Jalur Gaza yang amat membutuhkan bantuan tersebut. “Terlebih banyak masalah-masalah teknis yang harus diurus,” kata Sugiono.

Otoritas dalam negeri Gaza sendiri sempat mendesak dihentikannya penerjunan bantuan kemanusiaan via udara, karena justru dapat memperburuk situasi di Jalur Gaza dan menimbulkan korban jiwa baru.

"Menerjunkan bantuan kemanusiaan menyebabkan peningkatan korban jiwa di kalangan masyarakat akibat berdesak-desakan saat saling berebut bantuan. Di beberapa kasus, bahkan ada korban tewas," kata Kementerian Dalam Negeri Gaza dalam pernyataannya, Rabu (6/8). 

"Terlebih, kontainer bantuan yang diterjunkan kerap mendarat di bangunan tempat tinggal dan tenda pengungsian sehingga menimbulkan korban jiwa di kalangan wanita dan anak-anak," menurut kementerian tersebut.

Di tengah kelangkaan pangan akut di Gaza, metode pengiriman bantuan melalui udara menyebabkan kekacauan dan meningkatkan korban jiwa, kata Kementerian Dalam Negeri.

"Satu-satunya cara untuk menghentikan krisis kemanusiaan ini adalah dengan membuka semua titik perbatasan darat demi memastikan bantuan kemanusiaan dan pangan (melalui darat) mengalir tanpa halangan," demikian pernyataan otoritas di Gaza itu.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 23 Juli lalu sendiri melaporkan peningkatan pesat kasus kematian akibat malanutrisi di Jalur Gaza. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa malanutrisi akut berdampak pada 10% populasi Gaza, sementara lebih dari 20% ibu hamil dan menyusui yang diperiksa turut didiagnosis menderita malanutrisi parah.

Ia memperingatkan, bencana kelaparan tersebut semakin memburuk akibat dihentikannya pengiriman bantuan kemanusiaan dan adanya pembatasan akses. Kemudian pada 26 Juli, pihak Zionis Israel mengizinkan kembali penerjunan bantuan kemanusiaan dilaksanakan oleh negara-negara asing.

Israel diketahui mengelola penyaluran bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza melalui "Yayasan Kemanusiaan Gaza" (GHF) yang didukung Amerika Serikat. Titik penyaluran bantuan oleh GHF difokuskan di wilayah selatan Gaza. Namun, laporan media menyebutkan bahwa pasukan Zionis juga terus menembaki warga Palestina yang mengantre demi makanan.