periskop.id - Keputusan pemerintah menetapkan Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai pahlawan nasional pada peringatan Hari Pahlawan, Senin (10/11), menuai gelombang penolakan publik. Banyak pihak menilai langkah itu bertentangan dengan prinsip keadilan dan semangat reformasi.

Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Indraguna, menilai pemberian gelar itu sebagai langkah keliru. Ia menegaskan, sosok yang terlibat dalam praktik kekerasan negara seharusnya tidak dimuliakan dengan status pahlawan.

“Memberikan gelar kepahlawanan bagi Soeharto atas kekerasan negara, pembredelan media, dan penghilangan paksa yang memisahkan korban dari keluarganya merupakan tindakan yang tidak tepat. Tidak semua presiden pantas disebut pahlawan,” ujar Alfath.

Berbeda dengan kritik publik, keluarga Soeharto justru menanggapi santai. Putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto, mengatakan pihaknya tidak perlu membela diri atas berbagai tudingan yang muncul. Ia yakin masyarakat sudah cukup bijak menilai jasa ayahnya.

“Saya rasa rakyat sekarang makin pintar. Jadi bisa melihat apa yang dilakukan Pak Harto dan menilai sendiri. Kami tidak perlu membela diri,” ujar Tutut usai upacara di Istana Negara.

Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penghargaan tersebut tidak hanya mencederai misi reformasi, tetapi juga membuka luka lama korupsi Orde Baru. Kepala Divisi Advokasi ICW, Egi Primayogha, menyebut keluarga Soeharto tidak layak menerima tunjangan kehormatan sebesar Rp50 juta per tahun yang melekat pada gelar pahlawan nasional.

“Keluarga Soeharto tidak layak mendapat tunjangan itu. Justru seharusnya mengembalikan uang hasil kejahatan korupsi kepada negara,” tegas Egi pada Senin (10/11).

Menurut Egi, keputusan Presiden Prabowo memberikan gelar kepada Soeharto merupakan simbol meredupnya semangat reformasi.

“Pemberian gelar ini mencederai cita-cita reformasi untuk mengadili Soeharto atas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Setelah 27 tahun, perlahan tapi pasti, reformasi masuk ke liang lahat,” ujarnya.

Ia menambahkan, praktik korupsi sistemik yang masih terjadi hingga kini merupakan warisan langsung dari masa kepemimpinan Soeharto. Banyak aktor politik dan bisnis yang terhubung dengan jaringan Orde Baru tetap berpengaruh hingga hari ini.

“Jejak buruk Soeharto tidak pernah diadili. Ketika mantan penguasa terbebas dari pertanggungjawaban, para pemimpin berikutnya merasa bebas melakukan hal yang sama tanpa takut dihukum,” kata Egi.