periskop.id - Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI yang divonis dalam kasus korupsi e-KTP, resmi mendapatkan status bebas bersyarat sejak 16 Agustus 2025. Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menyambut kabar tersebut dengan rasa syukur.
“Tentu dengan apa yang sudah dilaluinya, dia kemarin ditetapkan bebas bersyarat, ya kami bersyukur. Artinya, ada kader kami yang memang sudah selesai menjalani proses hukum,” ujar Doli dikutip dari Antara, Rabu (20/8).
Doli menegaskan bahwa Setnov masih tercatat sebagai kader Partai Golkar. Menurutnya, tidak pernah ada surat pengunduran diri dari Setnov maupun keputusan resmi partai yang memberhentikannya.
“Jadi per hari ini, Setya Novanto itu adalah masih kader Partai Golkar, jadi menjadi bagian dari keluarga besar Partai Golkar,” katanya.
Status bebas bersyarat Setnov diberikan setelah ia dinilai memenuhi sejumlah syarat hukum, seperti telah menjalani dua pertiga masa hukuman dari total 12,5 tahun, berkelakuan baik, dan aktif mengikuti program pembinaan.
“Jadi secara prosedur peraturan perundangan semuanya memenuhi syarat,” ucap Doli.
Kepala Kanwil Pemasyarakatan Jawa Barat, Kusnali, juga memastikan bahwa pembebasan tersebut sah secara hukum dan Setnov wajib lapor hingga April 2029.
Meski masih dalam masa pembebasan bersyarat, Doli membuka ruang bagi Setnov untuk kembali aktif di partai.
“Itu tergantung yang bersangkutan. Situasinya kan sekarang masih bebas bersyarat, tentu ada aktivitas-aktivitas yang tidak sebebas bebas murni,” ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa posisi Setnov sebagai mantan Ketua Umum Golkar memberi ruang tersendiri jika ia ingin kembali berkontribusi.
Dalam konteks hukum Indonesia, narapidana korupsi yang telah menjalani hukuman tetap memiliki hak politik, termasuk hak memilih dan dipilih, kecuali jika dicabut oleh putusan pengadilan.
Namun, Mahkamah Konstitusi pernah menegaskan bahwa partai politik memiliki kewenangan internal untuk menentukan kelayakan kadernya, termasuk mantan terpidana, dalam struktur kepengurusan atau pencalonan publik.
Artinya, meski sah secara hukum, keterlibatan politik mantan koruptor tetap menjadi isu etis yang kompleks untuk dibahas.
Sebagai catatan, berdasarkan fakta persidangan dalam kasus korupsi e-KTP Setnov disebut menikmati dana pribadi sebesar US$7,3 juta atau setara Rp100 miliar saat itu. Dalam sidang, disebutkan bahwa dari total anggaran proyek e-KTP, Rp5,9 triliun, sekitar 49% atau Rp2,5 triliun dibagi-bagikan ke sejumlah pejabat dan pihak swasta.
Tinggalkan Komentar
Komentar