periskop.id - Di tengah perdebatan global tentang perubahan iklim, lautan sering kali luput dari sorotan sebagai aktor utama dalam menyerap karbon dioksida (CO₂) dan panas akibat efek rumah kaca. Padahal, lebih dari 70% permukaan Bumi ditutupi oleh lautan, menjadikannya sistem penyangga iklim paling luas dan dinamis. 

Mengutip berbagai sumber, lautan menyerap sekitar 25–30% emisi CO₂ antropogenik setiap tahun melalui proses fisik dan biologis, serta menyimpan sekitar 90% panas yang dihasilkan oleh pemanasan global. Agak berbeda dari apa yang diajarkan pada kita dari buku pelajaran, di mana hutan hujan selalu disebut sebagai penyerap CO₂ utama.

Proses penyerapan karbon oleh lautan terjadi melalui dua mekanisme utama: pompa kelarutan dan pompa biologis. Pompa kelarutan memungkinkan CO₂ larut di permukaan laut yang dingin dan tenggelam ke lapisan laut dalam melalui arus termohalin. 

Sementara itu, pompa biologis melibatkan fitoplankton yang menyerap CO₂ melalui fotosintesis, lalu karbon tersebut disimpan di dasar laut ketika organisme mati atau dimakan. Lautan menyimpan karbon sekitar 60 kali lebih banyak dibandingkan atmosfer, dengan estimasi mencapai 39.000 gigaton CO₂.

Sebagai pembanding, hutan daratan juga menyerap CO₂ melalui fotosintesis, menyimpan karbon dalam biomassa dan tanah. Namun, kapasitasnya terbatas. Hutan menyerap sekitar 25–30% emisi CO₂, setara dengan lautan, tetapi lebih rentan terhadap gangguan seperti deforestasi, kebakaran, dan kekeringan.

Menariknya, 1 hektare padang lamun (wilayah lautan yang ditumbuhi tanaman sejenis rumput laut) dapat menyimpan karbon setara dengan 40 hektare hutan daratan, menunjukkan efisiensi luar biasa dari ekosistem laut.

Ekosistem pesisir seperti mangrove, padang lamun, dan rawa pasang surut memainkan peran penting dalam penyerapan karbon biru. Mangrove mampu menyerap hingga 5.000 ton CO₂ per kilometer per tahun, sementara padang lamun menimbun antara 4,2–8,4 gigaton karbon organik per tahun. 

Terumbu karang juga berkontribusi melalui produktivitas primer tinggi, mencapai 1.500–3.500 gC/m²/tahun, berkat simbiosis dengan zooxanthellae yang sangat efisien dalam fotosintesis.

Lewat berbagai kemampuan luar biasanya, kemampuan lautan menyerap karbon tetap terbatas. Pemanasan global menyebabkan pengasaman laut, penurunan pH, dan gangguan pada organisme laut yang bergantung pada kalsium karbonat. 

Ini mengancam terumbu karang, moluska, dan plankton, serta mengurangi kapasitas laut sebagai penyerap karbon. Selain itu, suhu laut yang meningkat memperburuk pemutihan karang dan mengganggu sirkulasi termohalin, yang berperan dalam distribusi panas global.

Lautan juga mulai kehilangan efisiensi dalam menyerap CO₂ seiring meningkatnya suhu. Ketika air laut menghangat, kelarutan CO₂ menurun, menyebabkan lebih banyak gas rumah kaca tetap berada di atmosfer. Ini menciptakan lingkaran negatif yang mempercepat perubahan iklim. 

Jika ekosistem laut rusak, karbon yang tersimpan selama ratusan tahun dapat dilepaskan kembali ke atmosfer, memperburuk krisis iklim.

Untuk menjaga peran vital lautan, diperlukan upaya konservasi serius. Restorasi ekosistem pesisir, pengurangan emisi karbon, dan perlindungan terhadap polusi laut. 

Menurut Ocean Health Index, skor kesehatan ekosistem pesisir saat ini berada di angka 74 dari 100, menunjukkan penurunan signifikan sejak 1980-an dan perlunya pemulihan segera.

Laut lebih dari sekadar hamparan biru yang indah, melainkan sistem penyangga kehidupan yang menyerap panas dan karbon dalam skala yang tak tertandingi. 

Menjaga kesehatan laut berarti menjaga stabilitas iklim, kualitas udara, dan masa depan generasi mendatang. Dalam narasi perubahan iklim, lautan bukanlah pemain pengganti, tapi aktor utama yang tak boleh diabaikan.