Periskop.id - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menyakini, nilai tukar Rupiah berpeluang menguat menjadi Rp1.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Syaratnya, hilirisasi komoditas ekspor digarap secara serius sejak sekarang.
"Dolar AS bisa Rp1.000 ke depan. Tapi ini harus dikerjakan dari sekarang," ujar Amran saat berbicara dalam Rapat Koordinasi Pengendalian (Rakordal) Pembangunan Daerah Triwulan II Pemda DIY di Gedhong Pracimasono, Kepatihan, Yogyakarta, Selasa (29/7).
Amran mencontohkan, potensi kelapa bulat yang selama ini hanya diekspor mentah dengan nilai Rp20 triliun, jika diolah di dalam negeri nilai tambahnya bisa meningkat 100 kali lipat.
"Sekarang ini ekspor kita nilainya Rp20 triliun untuk kelapa, kali 100, itu Rp2.000 triliun," serunya.
"Kalau seluruh komoditas ekspor kita yang kita kirim ke luar negeri itu kita hilirisasi katakanlah Rp20.000 sampai Rp50.000 triliun," imbuhnya.
Menurut dia, Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui anggaran sebesar Rp371 triliun untuk mendukung hilirisasi komoditas nasional. Dari total itu, Amran menuturkan, sebanyak Rp40 triliun telah siap digunakan, termasuk Rp8 triliun yang baru ia tandatangani.
"Hari ini saya tanda tangan. Turun (cair) anggarannya Rp8 triliun, total Rp40 triliun. Hari ini ada anggaran pertanian Rp40 triliun," ucapnya.
Amran menyebut komoditas dengan permintaan tinggi seperti kakao, mete, dan kopi akan menjadi prioritas hilirisasi. Kementeriannya juga telah menyiapkan anggaran tambahan sebesar Rp4-7 triliun untuk membangun fasilitas pengolahan di dalam negeri.
Menurut Amran, selama ini Indonesia dirugikan karena komoditas seperti kakao diekspor dalam bentuk mentah ke luar negeri, lalu diolah di negara tujuan dan dijual kembali dengan harga berlipat.
Ia mencontohkan lagi, kakao dari Sulawesi yang diekspor ke Singapura harganya bisa melejit hingga 38 kali lipat hanya melalui proses penggilingan.
"Modalnya Singapura cuma ulek, ulek, diputar gini. Maka kami rintis, kami sudah siapkan anggaran sekitar Rp4 atau Rp7 triliun untuk membangun hilirisasi, dan yang mengulek nanti ke depan adalah Indonesia. Semua komoditas kita ulek, dikelola di Indonesia," tuturnya.
Selain itu, Amran menambahkan, peluang besar juga terbuka bagi Indonesia karena perubahan pola konsumsi global khususnya di India dan China, yang kini beralih ke "coconut meal". Negara-negara tersebut tidak bisa menanam kelapa, sehingga Indonesia berpeluang besar mengisi pasar dunia.
"Di Eropa, kelapa mentah dijual Rp34.000. Ke depan, ada enam dari 13 komoditas strategis yang mungkin bisa kita selesaikan. Kalau itu terjadi, ekspor kita yang sekarang Rp600 triliun, dikali 100 atau 50 saja, bisa jadi Rp30.000 triliun. Indonesia mencapai Indonesia emas dan menjadi negara 'superpower' ke depan," pungkasnya.
Kontribusi Pertanian
Kuntoro Boga Andri, Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementan menuturkan dalam tulisannya, sektor pertanian Indonesia memiliki peran strategis dalam menopang perekonomian nasional sekaligus menjadi sumber penghidupan bagi jutaan rakyat.
Pada tahun 2024, kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai sekitar 12,6 %, dengan subsektor tanaman perkebunan sebagai penyumbang utama.Produk perkebunan juga mendominasi ekspor pertanian, mencakup 97% dari total nilai ekspor sebesar Rp622 triliun pada 2022, dan nilainya diperkirakan terus meningkat. Kelapa sawit menjadi komoditas unggulan, menyumbang sekitar 75 % dari total ekspor pertanian.
“Besarnya kontribusi ini menunjukkan bahwa perkebunan merupakan pilar penting dalam struktur ekonomi dan perdagangan Indonesia,” jelasnya.
Selain nilai ekonomi yang signifikan, sektor perkebunan juga memainkan peran besar dalam penyerapan tenaga kerja dan penguatan ekonomi pedesaan. Berdasarkan Sensus Pertanian 2023, sekitar 10,8 juta rumah tangga menggantungkan hidupnya pada usaha perkebunan, yang sebagian besar dikelola oleh pekebun rakyat di lahan terbatas.
Industri kelapa sawit sendiri menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja di sepanjang rantai pasoknya, sementara perkebunan karet menopang kehidupan sekitar 2,5 juta keluarga petani.
“Namun, potensi besar ini belum sepenuhnya dioptimalkan karena masih kuatnya kebergantungan pada ekspor bahan mentah, yang berdampak pada rendahnya nilai tambah dan kesejahteraan petani,” tuturnya.
Selama beberapa dekade, lanjutnya, model bisnis perkebunan Indonesia cenderung berorientasi pada ekspor bahan mentah. Hasil bumi seperti kopi, kakao, dan karet diekspor dalam bentuk biji mentah atau olahan minimal, sementara negara lain menikmati nilai tambah dari pengolahan dan penjualan produk akhirnya.
Contohnya, meskipun Indonesia termasuk produsen kopi terbesar dunia, sekitar 98% ekspornya masih berupa biji kopi mentah. Hal serupa terjadi pada kakao dan karet, yang sebagian besar diekspor dalam bentuk dasar, bukan sebagai produk jadi bernilai tinggi seperti cokelat, ban, atau barang karet lainnya.
“Akibatnya, keuntungan terbesar justru dinikmati oleh negara pengolah dan merek asing, bukan oleh petani dan pelaku industri di dalam negeri,” serunya.
Padahal, kebergantungan pada ekspor bahan mentah membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global dan berbagai kebijakan proteksionis negara tujuan ekspor. Petani dan pelaku usaha lokal sering terpukul ketika harga global anjlok, karena tidak ada penopang nilai tambah di dalam negeri.
“Hilirisasi komoditas perkebunan tidak hanya berdampak pada peningkatan nilai tambah secara ekonomi, tetapi juga mendorong terwujudnya pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkualitas,” ucapnya.
Hilirisasi juga memberikan efek ganda bagi perekonomian. Di antaranya meningkatkan devisa melalui ekspor produk olahan dan sekaligus menekan impor barang jadi, sehingga memperkuat neraca perdagangan nasional.
“Bagi petani, hilirisasi membuka peluang untuk berperan lebih dalam rantai nilai domestic,” ujarnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar