periskop.id - Perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin digital menjadi penyebab utama sepinya pusat perbelanjaan, bukan semata karena fenomena “Rojali” (rombongan jarang beli) atau “Rohana” (rombongan hanya nanya). 

Hal ini ditegaskan oleh Piter Abdullah, Ekonom sekaligus Policy and Program Director Prasasti Center for Policy Studies, dalam konferensi pers peluncuran laporan riset ekonomi digital di Jakarta. 

“Kita bisa melihat bagaimana sekarang mal-mal sepi. Bukan karena Rojali atau Rohana, tetapi utamanya karena gaya hidup yang berubah. Sekarang kita pergi ke mal bukan untuk belanja, karena belanjanya sudah dilakukan secara online,” ujarnya dikutip dari Antara, Selasa (12/8). 

Pergeseran perilaku ini juga terlihat di supermarket yang semakin jarang dipadati antrean kasir. Piter mengaku dirinya pun hampir tidak lagi berbelanja langsung ke mal, bahkan untuk kebutuhan dapur sekalipun. 

“Sekarang ini saya hampir enggak pernah lagi belanja di mal. Semuanya online. Bahkan belanja kebutuhan sehari-hari untuk masak itu online,” terangnya. 

Ia menambahkan bahwa transaksi digital kini merambah berbagai sektor, termasuk menciptakan lapangan kerja baru seperti pekerja gig dan kreator konten. Menurutnya, fenomena Rojali dan Rohana tidak mencerminkan penurunan konsumsi, melainkan pergeseran pola belanja dari luring ke daring. 

“Sebenarnya Rojali, Rohana itu bukan mengindikasikan bahwasannya konsumsi benar-benar turun. Karena sebenarnya terjadi pergeseran dari cara kita belanja yang selama ini belanja langsung di pusat perbelanjaan, di mal, menjadi online,” jelasnya.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mendukung pandangan tersebut. Konsumsi rumah tangga Indonesia tumbuh sebesar 4,97% secara tahunan (yoy) pada triwulan II 2025, menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional yang tercatat 5,12%. 

Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap total pertumbuhan ekonomi mencapai 2,64%, dan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 54,25%. 

Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh. Edy Mahmud, menyatakan bahwa daya beli masyarakat tetap terjaga di tengah perubahan pola belanja, terutama dengan maraknya transaksi daring.

Namun, ia juga mengakui bahwa fenomena pergeseran konsumsi dari offline ke online belum sepenuhnya tercermin dalam statistik resmi. 

“Kita hanya menyampaikan data memang konsumsi demikian. Jadi, ada hal yang baru yang mungkin belum diungkap, adanya fenomena shifting belanja secara offline ke online,” ungkapnya. 

Perubahan ini menandai era baru dalam perilaku konsumen Indonesia, di mana kenyamanan, efisiensi, dan akses digital menjadi prioritas utama. Pusat perbelanjaan kini lebih berfungsi sebagai tempat hiburan atau rekreasi, bukan lagi sebagai destinasi utama untuk berbelanja.