periskop.id - Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Maruli Simanjuntak menyatakan, pihaknya telah membenahi sistem pembayaran rumah jenis Kredit Perumahan Rakyat (KPR) yang dikelola Badan Pengelolaan Tabungan Wajib Perumahan. Langkah ini menurutnya dijalankan demi memangkas beban para prajurit.

Sistem itu, lanjutnya, perlu dibenahi setelah menuai polemik publik lantaran prajurit dipaksa membayar cicilan KPR sebesar Rp2,5 juta per bulan, namun rumah yang dijanjikan tidak kunjung jadi.

"Perlu kita evaluasi dan terus benahi agar lebih baik", kata Maruli saat ditemui di Situ Bagendit, Garut, Jawa Barat, Selasa (12/8)

Maruli menjelaskan saat ini institusinya sudah mendata prajurit mana saja yang dikabarkan terpaksa atau terkena potongan sebesar Rp2,5 juta per bulan dari gaji untuk membayar cicilan rumah.

"Kita sudah data ada 4.000 orang prajurit yang dikabarkan mengalami hal tersebut dan kita akan terus perbaiki dan akan kita selesaikan," jelas Maruli.

Setelah semuanya terdata, TNI AD membuat skema baru agar tabungan prajurit tersebut dijadikan uang muka dan bunga cicilan hanya 5%. Hal tersebut sebagai salah satu upaya mengevaluasi peraturan untuk perbaikan yang lebih baik ke depan, karena kalau kegiatan tersebut dikelola sendiri akan bisa lebih murah.

"Jadi, maksimal nanti dia hanya membayar Rp1,2 juta (per bulan) untuk rumah seharga Rp180 juta dan Rp1 juta (per bulan) untuk yang rumah subsidinya Rp168 juta. Jadi, ini semua proses perbaikan," tuturnya. 

Mengenai adanya beberapa prajurit TNI yang pada akhirnya hanya mendapat gaji sebesar Rp150.000 per bulan karena beban cicilan KPR, Maruli memastikan pihaknya akan menelusuri hal tersebut.

"Tidak mungkin per bulannya itu kalau diambil cicilan 15 tahun harus membayar lebih dari Rp2,5 juta, itu sudah maksimal. Jadi, mungkin dia (prajurit) punya utang lain. Inilah yang kita sedang telusuri," jelasnya.

Maruli memastikan, perbaikan sistem akan terus dilakukan jajaran TNI AD agar prajurit tidak merasa terbebani dan kesejahteraannya juga terjamin. Sebelumnya, beredar kabar bahwa prajurit TNI AD dipaksa untuk membayar cicilan rumah sebesar Rp2,5 juta per bulan.

Gagasan itu dijalankan mantan KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman yang saat ini menjabat Penasihat Khusus Presiden Bidang Pertahanan Nasional sekaligus Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP).

Berdasarkan berita yang beredar, prajurit telah mengikuti program tersebut sejak 2023. Sejak saat itu pula, banyak prajurit tidak pernah merasakan gaji penuh karena harus terpotong untuk pembayaran cicilan rumah.

Dugaan Korupsi

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons peluang untuk mengusut dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan rumah prajurit TNI Angkatan Darat.

“Kami lihat dari siapa pelakunya ya,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (6/8).

Lebih lanjut Asep menjelaskan, jika pelaku kasus tersebut merupakan anggota TNI, maka tidak ditangani oleh KPK. “Itu koneksitas. Nanti bisa ditangani di Kejaksaan karena di Kejaksaan ada Jampidmil, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer,” tuturnya. 

Bila pelakunya adalah masyarakat sipil atau bukan anggota TNI, kata dia, maka KPK bisa menangani kasus tersebut.

“Jadi kami bisa join (ikut mengusut, red.) gitu. Nanti misalkan kalau ada yang TNI, ditangani oleh TNI. Kemudian yang sipilnya kami tangani, walaupun di MK (Mahkamah Konstitusi) ada putusan kan ya,” ucapnya. 

Keputusan MK yang dimaksud Asep adalah Putusan Nomor 87/PUU-XXI/2023 yang menegaskan KPK berwenang mengusut kasus-kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan anggota TNI.

Walaupun demikian, Asep mengatakan akan mengecek terlebih dahulu ada atau tidaknya laporan dugaan korupsi dalam pengadaan rumah prajurit TNI AD ke Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM) KPK.

Sebelumnya, konsorsium IndonesiaLeaks yang terdiri atas empat media, yakni Jaring.id, Suara.com, Independen.id, dan Tempo, berkolaborasi menelusuri pengadaan rumah prajurit TNI AD di masa Kepala Staf TNI AD (KSAD) Dudung Abdurachman.