periskop.id - Dalam dunia psikologi, terdapat fenomena unik yang kerap membingungkan para ahli maupun masyarakat awam, yakni situasi di mana korban justru mengembangkan rasa simpati bahkan kesetiaan kepada orang yang mengancam atau menyakitinya. 

Reaksi yang tampak bertolak belakang dengan naluri untuk menghindari bahaya ini dikenal sebagai Stockholm syndrome, yakni sebuah kondisi yang menggambarkan rumitnya respons emosional manusia saat berada di bawah tekanan ekstrem.

Stockholm syndrome bukanlah diagnosis medis resmi, tetapi merupakan fenomena nyata yang dipelajari dalam psikologi krisis dan trauma. Kondisi ini umumnya terjadi dalam situasi penyanderaan, kekerasan dalam hubungan, atau pelecehan yang berlangsung dalam jangka waktu lama.

Dalam psikologi, fenomena ini sering dikaitkan dengan trauma bonding, di mana ikatan emosional terbentuk antara korban dan pelaku. Ikatan ini muncul saat korban merasa nyawanya terancam, sehingga otaknya secara tidak sadar menciptakan hubungan emosional sebagai cara untuk mengurangi rasa takut dan meningkatkan peluang untuk selamat.

Salah satu pemicu utama ikatan ini adalah perubahan sikap pelaku yang tidak terduga. Pelaku terkadang menunjukkan "kebaikan" secara tiba-tiba. Perubahan sikap inilah yang membuat korban menjadi bingung dan kesulitan membedakan antara ancaman dan perlindungan, yang pada akhirnya memicu perasaan terikat.

Nama fenomena ini diambil dari sebuah kasus perampokan bank di Stockholm, Swedia, pada tahun 1973. Saat itu, para korban penyanderaan secara mengejutkan membela para pelaku dan menolak untuk memberikan kesaksian di pengadilan.