periskop.id - Kebaya, yang memiliki identitas ganda sebagai busana daerah di Jawa sekaligus pakaian nasional Indonesia, memiliki perjalanan sejarah yang erat kaitannya dengan pembentukan identitas bangsa. Status sosio-kulturalnya telah mengalami pasang surut, di mana busana yang dikenakan perempuan kerap menjadi cerminan kondisi masyarakat pada masanya.

Pada era penjajahan Belanda, kebaya tidak hanya sekadar pakaian. Ia menjadi alat perlawanan nonverbal, sebuah media yang digunakan perempuan untuk menunjukkan perlawanan terhadap simbol-simbol kolonial.

Di masa pemerintahan Presiden Sukarno, kebaya sering kali digunakan untuk membedakan antara identitas Barat dan Timur, serta budaya asli dan asing. Foto-foto Sukarno bersama istri-istrinya yang berkebaya adalah representasi mikro dari identitas lokal, kedaerahan, dan pribumi yang ingin ditonjolkan.

Selanjutnya, pada masa Orde Baru, status kebaya berubah menjadi busana yang lebih eksklusif dan adiluhung. Penggunaannya terbatas pada acara-acara khusus, seperti pernikahan, wisuda, perayaan Hari Kartini, atau acara resmi instansi pemerintah. Kebaya di masa ini juga dimaknai sebagai simbol kepatuhan perempuan sebagai warga negara, sering kali dikenakan sebagai seragam organisasi wanita atau dress code acara khusus yang bernuansa priyayi kelas menengah.

Setelah rezim Suharto berakhir, popularitas kebaya sempat menurun. Hal ini disebabkan oleh pelarangan penggunaan jilbab pada masa Orde Baru yang membuat pemakaiannya meningkat pesat setelah tahun 1998. Kondisi ini membuat kebaya harus bersaing dengan busana muslim yang lebih modern.

Namun, dalam dua dekade terakhir, kebaya kembali bangkit dan mendapatkan makna baru. Kebaya modern muncul setelah terjadi negosiasi dengan kelompok Islam, yang menghasilkan desain kebaya yang lebih longgar, tidak transparan, dan tidak harus dipadukan dengan konde. Kebangkitan ini juga merupakan manifestasi dari gerakan feminis, di mana perempuan memiliki kebebasan untuk memilih busana apa pun, serta gerakan nasionalis yang menegaskan bahwa kebaya Indonesia berbeda dengan kebaya di negara lain.

 

Referensi:

Suzie Handajani, "Kebaya dan Wacana Pelestarian", Lembaran Antropologi, Vol. 2 No. 2 (2023), 136-152.