periskop.id - Ketegangan antara Thailand dan Kamboja kembali memuncak setelah serangkaian serangan roket menewaskan sedikitnya 15 warga Thailand. Menurut Kementerian Kesehatan Masyarakat Thailand, korban terdiri dari 14 warga sipil dan satu personel militer, sementara 46 orang lainnya terluka.

Dikutip dari Antara, Jumat (25/7) salah satu serangan paling mematikan terjadi di sebuah pom bensin di Provinsi Sisaket, Thailand, yang menyebabkan sembilan korban jiwa. 

Tim militer dan penjinak bom dari kepolisian baru menemukan jenazah para korban pada Jumat pagi saat membersihkan puing-puing bangunan yang hancur. Mereka juga melakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan amunisi yang belum meledak serta mengumpulkan serpihan roket di lokasi kejadian.

Bentrok bersenjata antara kedua negara meletus pada Kamis dini hari, menyusul ketegangan yang telah berlangsung selama berminggu-minggu. Sengketa atas wilayah Candi Preah Vihear, situs warisan dunia UNESCO abad ke-11, disebut-sebut sebagai pemicu utama konflik. Sebelumnya telah terjadi insiden ranjau darat dan pengusiran diplomat, yang semakin memperparah situasi.

Pemerintah Thailand menolak keterlibatan negara lain dalam penyelesaian konflik ini. 

“Saya rasa kami belum membutuhkan mediasi apa pun dari negara ketiga,” tegas juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, Nikorndej Balankura. 

Menurutnya, Thailand sedang mengupayakan solusi bilateral yang damai dan konstruktif. Di sisi lain, Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand menyerukan penyelidikan independen dari komunitas internasional atas serangan Kamboja terhadap warga sipil. 

“Menyerang warga sipil secara sengaja adalah kejahatan perang, dan para pelakunya harus dimintai pertanggungjawaban,” tulis militer Thailand di akun media sosial resminya, menandai eskalasi tuntutan dari pihak militer terhadap Kamboja.

Kondisi di perbatasan semakin mengkhawatirkan, dengan kedua pihak mengerahkan pasukan darat dan menggunakan artileri berat.

Situasi ini memicu keprihatinan regional, terutama karena dampaknya terhadap warga sipil. Pengungsian massal mulai terjadi dari wilayah perbatasan, sementara negara-negara tetangga seperti Indonesia mulai mempertimbangkan langkah mitigasi untuk warganya. Konflik yang semula bersifat lokal kini berisiko menjalar lebih luas jika tidak segera ditangani secara diplomatik dan damai.