periskop.id - Konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja terus berlanjut kendati Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah meminta kedua negara Asia Tenggara itu, untuk melakukan gencatan senjata. Jumlah korban tewas akibat bentrokan bersenjata pun menjadi menjadi 35 orang, Minggu (27/7).
Dikutip Senin (28/7) dari Thai Enquirer, Pemerintah Thailand merilis data korban terbaru yang mencatat 22 orang tewas, terdiri dari 14 warga sipil dan delapan tantara. Di luar itu, 140 orang lainnya mengalami luka-luka, sebut laporan laman berita berbahasa Inggris setempat.
Sementara itu, jumlah korban jiwa di pihak Kamboja tetap 13 orang. Puluhan ribu warga dari kedua sisi perbatasan kedua negara telah dievakuasi. Juru bicara Kementerian Pertahanan Kamboja Maly Socheata menurut Khmer Times dalam laporannya mengatakan, pasukan Thailand terus “memasuki wilayah Kamboja” dan menuduh pihak Thailand menembakkan peluru artileri dan roket ke wilayah Kamboja.
Secara terpisah, Juru Bicara Militer Thailand Richa Suksuvanon mengatakan, pasukan Kamboja melancarkan tembakan artileri ke berbagai wilayah, yang menyebabkan kerusakan infrastruktur, sebut laporan Thai PBS. Menurutnya, pihak Thailand “baru akan menghentikan tembakan jika Kamboja bersedia bernegosiasi,”.
Asal tahu saja, bentrokan pasukan kedua negara tetangga itu telah memasuki hari keempat. Trump telah berbicara dengan Perdana Menteri Kamboja dan Thailand pada Sabtu (26/7), dan mendesak kedua pihak memulai perundingan gencatan senjata yang menurut Trump telah disepakati oleh kedua pihak.
Dalam perkembangan lain, Thai Enquirer memberitakan, pihak berwenang Thailand pada Ahad (27/7) menyerahkan jenazah 12 tentara Kamboja yang tewas dalam bentrokan kepada otoritas Kamboja. Penyerahan dilakukan di pos perbatasan permanen Chong Sa-ngam di Distrik Phu Sing, Provinsi Si Sa Ket, Thailand.
Hingga berita ini disiarkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Kamboja terkait pemulangan jenazah tentara tersebut. Pihak militer Thailand menyatakan, tindakan itu dilakukan atas dasar “prinsip kemanusiaan, untuk menghormati semua tentara yang gugur saat bertugas, tanpa memandang kebangsaan,”.
Malaysia Mediator
Sebelumnya dikabarkan, Perdana Menteri Kamboja Hun Manet dan Penjabat Perdana Menteri Thailand Phumtham Wechayachai akan datang ke ibu kota Malaysia, Kuala Lumpur, Senin (28/7) untuk membahas soal konflik perbatasan.
“Saya berkesempatan berbicara dengan menteri luar negeri Thailand dan Kamboja. Keduanya sepakat bahwa tidak ada negara lain yang seharusnya terlibat dalam masalah ini. Mereka sepenuhnya percaya terhadap Malaysia dan meminta saya menjadi mediator,” kata Menteri Luar Negeri Malaysia Mohamad Hasan seperti dikutip kantor berita Bernama, Minggu.
Hasan juga menambahkan, ia juga menunggu panggilan dari Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio. Menteri Malaysia itu menuturkan, Malaysia yang saat ini menjabat sebagai ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), harus bertindak sebagai mediator terlebih dahulu. Pasalnya, ini merupakan masalah internal blok Asia Tenggara yang beranggotakan 10 negara, termasuk Kamboja dan Thailand.
Kementerian Luar Negeri Thailand mengonfirmasi, penjabat perdana menteri negaranya akan bertemu dengan mitranya dari Kamboja di Malaysia pada Senin.
“Seperti yang telah muncul di media bahwa akan ada pertemuan besok, hanya itu yang bisa saya konfirmasi, itu benar,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, Nikondet Phalangkun, dalam konferensi pers di Bangkok, Thailand.
Ketika ditanya mengapa panggilan telepon Presiden AS Donald Trump dengan kedua perdana menteri memicu persiapan pembicaraan yang dimediasi Malaysia, padahal, sebelumnya negara lain juga menawarkan diri sebagai mediator. Phalangkun mengatakan, kedua negara sama-sama ingin melanjutkan negosiasi tarif dagang dengan Washington.
Trump sebelumnya menyampaikan, Amerika Serikat tidak akan melakukan negosiasi dengan negara-negara yang terlibat dalam konflik bersenjata. Ketegangan perbatasan antara Thailand dan Kamboja sendiri meningkat menjadi konflik bersenjata pada 24 Juli. Banyak korban jiwa dan luka-luka di kedua pihak, termasuk warga sipil.
Ketegangan tersebut menyusul bentrokan sebelumnya pada 28 Mei antara personel militer Thailand dan Kamboja di zona netral yang disengketakan, yang menewaskan seorang tentara Kamboja.
Sengketa wilayah antara Thailand dan Kamboja berakar dari masa penjajahan Prancis ketika peta batas wilayah antara kedua negara dibuat pada tahun 1907, namun, kedua negara bertetangga tersebut menafsirkannya secara berbeda. Anggora komisi penetapan batas Prancis mengabaikan beberapa bagian perbatasan karena sulit diakses.
Setelah Kamboja merdeka dari Prancis pada 1953, wilayah-wilayah tersebut menjadi objek sengketa. Thailand lebih memilih menyelesaikan semua sengketa terkait perbatasan melalui negosiasi bilateral, sementara Kamboja lebih mengandalkan Mahkamah Internasional yang yurisdiksinya atas sengketa wilayah tidak diakui oleh Thailand.
Tinggalkan Komentar
Komentar