periskop.id - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjanjikan, program paket stimulus ekonomi bakal dilanjutkan guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi di semester II 2025. Rincian paket stimulus tersebut akan diumumkan pada September 2025 mendatang.

Saat ditemui di kantornya di Jakarta, Jumat (25/7), Airlangga menjelaskan, sejumlah program yang digulirkan akan sama seperti kebijakan sebelumnya yang mencakup diskon tiket pesawat, kapal, kereta api, hingga diskon tarif tol. Pemberian diskon tiket berlaku selama dua bulan, yakni Desember 2025 hingga Januari 2026 guna mendongkrak konsumsi masyarakat saat Libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025.

“(Diskon) pesawat, tol, paling banyak kereta api,” jelasnya.

Namun, Airlangga memastikan tidak akan ada insentif berupa diskon tarif listrik maupun Bantuan Subsidi Upah (BSU) dalam program lanjutan ini. Selain subsidi tiket, pemerintah juga akan melanjutkan insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 100% untuk sektor properti pada semester II tahun ini. Awalnya, insentif tersebut direncanakan turun menjadi 50%.

“Kemudian juga terkait dengan fasilitas PPNDTP untuk properti yang seharusnya semester dua itu 50 %, tadi disepakati untuk tetap 100 %. Jadi nanti teknis-teknis itu yang kita bahas detail,” jelasnya.

Lima Paket

Sebelumnya, pemerintah telah menggulirkan lima paket stimulus ekonomi untuk kuartal II 2025 senilai Rp24,44 triliun untuk menjaga daya beli masyarakat selama masa libur sekolah. Stimulus tersebut mencakup subsidi transportasi, diskon tol, bantuan sosial, subsidi upah, dan insentif sektor ketenagakerjaan.

Beberapa insentif yang telah diberikan antara lain diskon 30% tiket kereta api, potongan PPN sebesar 6% untuk tiket pesawat, serta diskon 50% untuk angkutan laut. Sementara itu, tarif tol diberikan diskon 20% guna mendukung mobilitas nasional.

Di sektor sosial, pemerintah menyalurkan bantuan senilai Rp11,93 triliun melalui tambahan manfaat Kartu Sembako serta distribusi beras 10 kilogram untuk 18,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Untuk sektor ketenagakerjaan, BSU senilai Rp300 ribu diberikan kepada sekitar 17,3 juta pekerja berpenghasilan di bawah Rp5 juta per bulan, termasuk untuk guru.

Di lain kesempatan, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan, pemerintah dinilai perlu segera mengevaluasi dan menghentikan kebijakan efisiensi belanja. Pasalnya, kebijakan tersebut sudah memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menekan daya beli serta konsumsi masyarakat, khususnya kelas menengah.

"Efisiensi belanja pemerintah ikut berkontribusi terhadap berkurangnya dompet kelas menengah, sehingga mereka berpikir ulang belanja barang-barang di luar barang-barang yang esensial," ujarnya. 

Menurut Bhima, kelas menengah yang menjadi penggerak utama konsumsi, kini semakin terhimpit oleh kenaikan biaya hidup, inflasi pangan, harga perumahan, dan tingginya suku bunga. Pendapatan yang cenderung menurun, tak ayal membuat kunjungan ke mal hanya sebatas untuk rekreasi atau mencari hiburan.

Bhima memprediksi fenomena "rojali" ini akan terus berlanjut hingga tahun depan, diperparah oleh dampak perang dagang yang berpotensi memicu PHK di sektor padat karya. Oleh karena itu, pusat perbelanjaan harus beradaptasi dengan tren ini.

"Yang tadinya banyak menyediakan gerai baju, gerai-gerai kebutuhan sekunder, sekarang banyak yang bergeser menjadi pusat makanan dan minuman, kemudian rekreasi keluarga. Itu yang sekarang diminati," ucapnya. 

Untuk membangkitkan kembali daya beli masyarakat dan mengerek konsumsi, lanjutnya, selain evaluasi efisiensi belanja pemerintah yang memicu PHK, perlu juga dipertimbangkan penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi delapan persen. Termasuk kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp7,5 juta per bulan.