periskop.id - Sebanyak 12 perusahaan pusat data (data center) asal Amerika Serikat (AS) telah mendirikan fasilitas operasinya di Indonesia. 

Kehadiran mereka disebut pemerintah sebagai jaminan keamanan di tengah rencana kerja sama transfer data pribadi lintas negara dengan AS.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa pengelolaan data oleh perusahaan-perusahaan tersebut akan berjalan sesuai koridor hukum yang berlaku di tanah air.

“Pemerintah memastikan pengelolaan data dilakukan dalam kerangka yang aman (secure), terpercaya (reliable), dan sesuai prinsip tata kelola data (data governance). Sejauh ini, sudah 12 perusahaan Amerika Serikat mendirikan data center di Indonesia,” ujar Airlangga dalam Konferensi Pers Joint Statement Indonesia-AS, Jakarta, Kamis (25/7).

Keberadaan fisik para pelaku industri teknologi ini di dalam negeri dipandang sebagai bentuk kepatuhan terhadap peraturan nasional. 

“Artinya mereka juga sudah comply (tunduk) dengan regulasi yang diminta oleh Indonesia,” katanya. 

Beberapa nama yang disebutkan antara lain Amazon Web Services (AWS), Microsoft, Google Cloud, Oracle, dan EdgeConneX, yang fasilitasnya tersebar di Jakarta, Jawa Barat, hingga Batam.

Airlangga memberikan contoh spesifik mengenai investasi yang sedang berjalan. 

“Oracle sedang berbicara di Batam. Saat ini mereka colocation di DayOne (Nongsa Digital Park), tetapi akan melakukan ekspansi dan mereplikasi fasilitas yang ada di Johor, Malaysia. Target investasinya bisa mencapai US$6 miliar,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa kawasan Nongsa Digital Park di Batam telah menjadi lokasi bagi pusat data berbasis kecerdasan buatan (AI) milik DayOne, perusahaan asal Singapura. Hal ini menandakan kesiapan Indonesia dalam pertukaran data internasional.

“Kalau lihat di Nongsa Digital Park, sudah ada AI Data Center milik GDS. Artinya, kita sudah memasuki era pertukaran data lintas negara (cross-border) dengan protokol tertentu, bersama negara-negara yang kita anggap sebagai trusted partner,” jelas Airlangga.

Dalam konteks yang lebih luas, pertukaran data lintas negara dinilai menjadi suatu keniscayaan, terutama dengan adanya kerangka kerja ekonomi digital ASEAN (DEFA) dan implementasi sistem pembayaran seperti QRIS antarnegara. Menurut Airlangga, kepastian hukum dalam pertukaran data ini krusial untuk perlindungan konsumen.

“Dalam sistem pembayaran seperti QRIS pasti terjadi cross-border data exchange, yang penting untuk mencegah fraud. Ini sangat relevan agar tidak terjadi penipuan dalam aktivitas perdagangan e-commerce oleh pelaku usaha kecil dan menengah,” tutupnya.