periskop.id - Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Marcus Priyo Gunarto, menyoroti pentingnya peran dokter dalam eksekusi pidana mati. Bagi Marcus, peran dokter ini perlu dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.

Peran dokter sangat penting untuk menentukan terpidana benar-benar meninggal dunia. Selain itu, dokter juga berperan dalam memastikan sasaran tembak terpidana hukuman mati.

“Sasaran tembak biasanya diarahkan ke jantung dan posisi titik jantung ditentukan oleh dokter. Namun, dalam RUU ini belum dijelaskan secara eksplisit peran dokter dalam memastikan titik sasaran dan kondisi terpidana setelah ditembak. Padahal, keterlibatan dokter sangat penting untuk menentukan apakah terpidana benar-benar meninggal atau belum,” kata Marcus, dalam webinar Uji Publik yang diselenggarakan Kementerian Hukum Republik Indonesia, Jumat (31/10).

Peran dokter menjadi penting karena, jika setelah eksekusi dengan penembakan terpidana belum meninggal dunia, komandan regu eksekusi harus menembakkan peluru tambahan ke pelipisnya. Aturan yang berhubungan dengan peran dokter dalam eksekusi pidana mati harus dijelaskan dalam RUU sebagai bentuk penerapan hak asasi manusia (HAM).

“Dalam konsideran RUU disebutkan perlunya menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, namun dalam praktiknya, potensi pelanggaran bisa terjadi apabila prosedur tidak jelas,” tutur Marcus.

Marcus juga menekankan tentang jumlah peluru tajam yang digunakan oleh regu tembak seharusnya dibatasi sebanyak 12 senjata laras panjang. Namun, dari belasan senjata tersebut, hanya sebagian kecil yang diisi peluru tajam.

“Jika seluruh senjata diisi peluru tajam, hal itu dapat dianggap melanggar HAM. Oleh karena itu, pembatasan jumlah peluru perlu dicantumkan dalam peraturan. Demikian pula, pelibatan Komnas HAM dalam proses ini perlu dipertimbangkan agar pelaksanaan eksekusi lebih transparan dan sesuai dengan prinsip kemanusiaan,” tutur Marcus.

Pada kesempatan yang sama, Dosen Departemen Hukum Pidana FH UGM, Supriyadi, juga menyoroti pentingnya peran lembaga pemasyarakatan (lapas) dalam proses menjelang eksekusi pidana mati. Biasanya, terpidana mati masih menjalani pembinaan di dalam lapas selama masa percobaan sehingga ada beberapa hal yang harus diperjelas dalam RUU tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.

“Pertanyaannya, sejauh mana kewenangan lembaga pemasyarakatan dalam memberikan pembinaan serta bagaimana hasil pembinaan itu digunakan sebagai dasar penilaian bagi pelaksanaan eksekusi?” kata Supriyadi.

Menurut Supriyadi, aspek tersebut penting agar pelaksanaan pidana mati tidak semata-mata menjadi tindakan hukuman, tetapi juga mengandung nilai kemanusiaan. Dengan memperhatikan aspek tersebut, eksekusi pidana mati masih menerapkan nilai-nilai HAM yang perlu dijaga.

Supriyadi juga menekankan pentingnya kepastian hukum dan evaluasi pelaksanaan pidana mati. Sebab, jika tidak ada aturan teknis yang jelas, pelaksanaan pidana mati bisa menimbulkan ketidakpastian bagi aparat hukum dan keluarga terpidana.

Supriyadi berharap RUU tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dapat memperjelas prosedur pidana mati di Indonesia dengan menghormati HAM terpidana.

“RUU ini diharapkan dapat memperjelas prosedur mulai dari masa percobaan, pelaksanaan eksekusi, hingga mekanisme perubahan hukuman. Dengan begitu, hukum pidana Indonesia tidak hanya menegakkan keadilan, tetapi juga menjamin penghormatan terhadap martabat manusia,” tutur Supriyadi.