periskop.id - Bank Sentral Amerika Serikat Federal Reserve (The Fed) resmi menurunkan suku bunga acuan federal funds rate sebesar 25 basis poin dalam pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC). Dengan keputusan tersebut, target kisaran suku bunga berada di level 3,50%–3,75%.

Merespons kebijakan itu, pengamat pasar modal sekaligus Founder Republik Investor, Hendra Wardana menilai pemangkasan suku bunga acuan oleh The Fed menjadi katalis penting yang memengaruhi pergerakan pasar keuangan global, termasuk pasar modal Indonesia. Menurutnya, kebijakan tersebut turut mendorong dinamika pergerakan saham domestik yang cenderung fluktuatif.

“Langkah pelonggaran moneter The Fed berpotensi menjadi sentimen positif bagi pasar saham global, termasuk Indonesia. Namun, dampaknya cenderung terasa dalam jangka menengah hingga panjang,” ujar Hendra kepada Periskop, Senin (15/12).

Hendra menjelaskan, penurunan suku bunga The Fed berpotensi mendorong masuknya aliran modal asing ke Indonesia, seiring meningkatnya minat investor global mencari imbal hasil yang lebih kompetitif. Meski demikian, dampaknya tetap bergantung pada faktor domestik dan sentimen global, serta tidak selalu langsung tercermin dalam pergerakan pasar saham.

“Investor cenderung menunggu kejelasan arah kebijakan moneter Bank Indonesia, kinerja emiten, serta rilis data ekonomi dalam negeri sebelum mengambil posisi. Analisis teknikal dan fundamental pun menjadi acuan utama dalam membaca arah pasar,” tambahnya.

Dampak kebijakan The Fed juga tercermin pada pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung volatil, terutama dalam jangka pendek. Penurunan suku bunga global kerap menjadi pemicu penguatan IHSG, meski tetap bergantung pada persepsi risiko investor.

“Dalam jangka menengah, jika aliran modal asing terus meningkat, IHSG berpotensi menguat, terutama di sektor-sektor yang sensitif terhadap tingkat suku bunga, seperti sektor properti dan perbankan,” beber Hendra.

Sementara, dari sisi nilai tukar, pemangkasan suku bunga The Fed berpotensi memberi tekanan pada mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Namun, derasnya aliran modal asing ke pasar saham domestik dapat menjadi faktor penyeimbang yang membantu menjaga stabilitas rupiah. Kondisi ini cenderung menguntungkan emiten yang memiliki eksposur pendapatan dalam valuta asing.

Sektor Potensial yang Menarik Dicermati

Sejumlah sektor diperkirakan menjadi penerima manfaat utama dari tren suku bunga rendah, antara lain properti, perbankan, dan teknologi. Penurunan biaya pinjaman dinilai mampu mendorong daya beli, mempercepat ekspansi bisnis, serta meningkatkan minat investasi. Sektor teknologi juga berpeluang diuntungkan karena akses pembiayaan yang lebih murah untuk inovasi dan pengembangan usaha.

Sebaliknya, sektor yang sensitif terhadap tekanan inflasi dan kenaikan biaya produksi, seperti energi dan bahan baku, berpotensi menghadapi tantangan. Oleh karena itu, investor diimbau lebih selektif dalam memilih emiten. Perusahaan dengan struktur utang berbasis rupiah dinilai lebih diuntungkan dibandingkan emiten yang memiliki kewajiban dalam valuta asing.

Dari perspektif investasi, saham-saham di sektor perbankan dan properti dinilai layak menjadi perhatian utama. Selain itu, emiten dengan fundamental kuat, daya tahan terhadap fluktuasi nilai tukar, serta berada di sektor dengan permintaan stabil seperti consumer goods, dipandang menarik untuk jangka menengah hingga panjang.

Sehingga, secara keseluruhan, pemangkasan suku bunga The Fed menjadi faktor penting yang berpotensi menggerakkan pasar saham Indonesia. Namun, peluang tersebut hanya dapat dimaksimalkan dengan pemahaman yang kuat terhadap dinamika pasar, kedisiplinan memantau indikator ekonomi, serta analisis mendalam terhadap sektor dan emiten. Kombinasi strategi dan kehati-hatian menjadi kunci dalam menghadapi perubahan arah kebijakan moneter global.