Periskop.id - Anggapan umum bahwa perempuan cenderung menjadi lebih sensitif atau mudah marah seiring bertambahnya usia, terutama saat memasuki masa transisi menuju menopause, mungkin tidak sepenuhnya benar. Sebuah penelitian baru yang dirilis oleh The Menopause Society justru menunjukkan temuan yang mengejutkan: tingkat kemarahan pada perempuan menurun secara signifikan seiring bertambahnya usia, dimulai dari usia paruh baya.
Hasil penelitian ini, yang berjudul Anger, aging, and reproductive aging: observations from the Seattle Midlife Women’s Health Study, dipublikasikan di jurnal Menopause.
Penelitian yang melibatkan lebih dari 500 perempuan berusia 35 hingga 55 tahun ini dilakukan untuk meneliti pengaruh usia kronologis (umur) dan tahap penuaan reproduktif (perimenopause) terhadap laporan kemarahan.
Kemampuan Pengaturan Emosi Meningkat
Berbeda dengan studi sebelumnya yang fokus pada depresi selama masa transisi menopause, penelitian ini secara khusus menelusuri perkembangan gairah emosional, seperti kemarahan.
Berdasarkan hasil analisis, para peneliti menyimpulkan bahwa:
- Kemarahan Menurun Seiring Usia: Usia kronologis berhubungan signifikan dengan sebagian besar ukuran kemarahan, termasuk temperamen marah (kecenderungan marah), reaksi marah, kemarahan yang diekspresikan secara agresif, dan permusuhan. Semua bentuk kemarahan ini menurun secara signifikan seiring bertambahnya usia.
- Transisi Reproduktif: Tahap penuaan reproduktif juga memengaruhi kemarahan, yang mana kemarahan menurun setelah tahap reproduktif akhir.
Kesimpulan utama dari temuan ini adalah bahwa kemampuan pengaturan emosi pada perempuan dapat meningkat selama masa paruh baya. Hanya bentuk kemarahan yang ditekan (dipendam) yang tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan usia.
Kemarahan dan Risiko Kesehatan Jantung
Penelitian ini juga menegaskan kembali temuan studi-studi terdahulu yang mengaitkan kemarahan dengan risiko kesehatan serius.
- Penyakit Jantung: Studi yang ada sejak tahun 1980 telah berfokus pada hubungan antara kemarahan dan penyakit jantung, termasuk hipertensi (darah tinggi) dan penyakit arteri koroner. Peningkatan sifat mudah marah terbukti berkaitan dengan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik selama periode tiga tahun.
- Aterosklerosis: Penelitian lanjutan menemukan bahwa perempuan dengan skor kemarahan lebih tinggi memiliki ketebalan intima-media (indikasi awal aterosklerosis atau penyempitan pembuluh darah) yang tinggi sepuluh tahun kemudian.
- Depresi: Studi lain mengaitkan kemarahan dengan depresi, di mana perempuan yang memiliki masalah kemarahan cenderung mengalami gejala depresi yang lebih berat selama transisi menopause, terutama yang menggunakan terapi hormon.
Pentingnya Edukasi Perubahan Suasana Hati
Dr. Monica Christmas, direktur medis asosiasi The Menopause Society, menekankan pentingnya mendidik perempuan tentang perubahan suasana hati yang mungkin terjadi.
“Dampak kesehatan mental dari masa transisi menopause dapat memengaruhi kehidupan pribadi dan profesional seorang perempuan secara signifikan. Aspek perimenopause ini tidak selalu diakui dan ditangani dengan baik,” ujar Dr. Monica Christmas.
Dr. Christmas menjelaskan bahwa fluktuasi hormon memang berperan penting dalam perubahan mood.
"Telah diketahui bahwa fluktuasi kadar hormon dalam serum selama periode pascapersalinan, serta fluktuasi bulanan pada perempuan usia reproduktif yang berhubungan dengan siklus menstruasi dan masa perimenopause, dapat menyebabkan perubahan suasana hati yang ekstrem, termasuk kemarahan dan permusuhan," jelasnya.
Oleh karena itu, Dr. Christmas menyarankan perlunya edukasi.
"Mendidik perempuan tentang kemungkinan perubahan suasana hati selama masa rentan ini dan secara aktif mengelola gejalanya dapat berdampak besar terhadap kualitas hidup dan kesehatan secara keseluruhan,” tutupnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar