periskop.id - Sering kali warna pink atau merah muda diasosiasikan sebagai warna “perempuan”. Lantaran, warna ini selalu dikaitkan dengan simbol yang mendukung sifat-sifat femininitas, seperti cantik, lucu, dan manis. Namun, kamu tahu tidak kalau sebenarnya persepsi ini muncul dari adanya konstruksi budaya dan sejarah yang panjang?

Menariknya, sebelum warna pink dikhususkan untuk gender perempuan, warna ini justru lebih ditujukan untuk warna laki-laki. Hal ini karena warna pink memiliki karakteristik yang tegas, kuat, dan berani sehingga lebih cocok melekat pada laki-laki ketimbang perempuan.

Sejarah Penetapan Warna Pink Melekat pada Perempuan

Pada awalnya, sebelum abad ke-20, warna pink cenderung digunakan oleh laki-laki (khususnya anak-anak) karena pigmen warna pink merupakan turunan dari warna merah yang menunjukkan keberanian. Sifat tersebut cenderung dipandang sebagai bagian dari sifat maskulin. Sementara itu, untuk perempuan cenderung menggunakan warna biru muda karena sesuai dengan sifat perempuan yang lemah lembut.

Hal tersebut juga didukung oleh publikasi majalah Earnshaw's Infants' Department yang menyebutkan “aturan umum yang berlaku adalah pink untuk anak laki-laki dan biru untuk anak perempuan.” 

Menurut Jo Paoletti menjelaskan bahwa asosiasi warna ini turut serta dipengaruhi oleh agama Katolik. Beberapa lukisan menampilkan Yesus dalam balutan busana pink, sedangkan Perawan Maria digambarkan mengenakan pakaian berwarna biru.

Dilansir dari artikel jurnal yang berjudul “Pergeseran Makna Warna Pink dari Maskulinitas Menjadi Femininitas di Amerika Serikat Tahun 1940-1970” oleh Moh. Faishol Fuady, menyatakan bahwa pandangan masyarakat terhadap pemaknaan warna pink menggambarkan dominasi budaya patriarki yang memiliki peran besar dalam menempatkan posisi gender yang disesuaikan dengan sifat-sifat yang telah terbentuk.

Menurut Moore, pandangan ini terlahir dari konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai individu yang mewariskan sifat-sifat feminin, seperti emosional, pasif, inferior, bergantung, lembut, dan perannya yang terbatas di keluarga. Sementara, laki-laki dianggap memiliki sifat-sifat maskulin, seperti rasional, aktif, superior, berkuasa, keras, dan mendominasi perannya di dalam masyarakat.

Perubahan Perilaku Sosial

Pada periode awal abad ke-20, terjadi Perang Dunia I dan II yang memengaruhi perubahan sistem sosial. Saat itu, perempuan mengisi peran sebagai pekerja baru dalam skala yang besar karena harus menggantikan posisi laki-laki yang sedang berperang.

Perubahan sosial tersebut berpengaruh pada gaya hidup perempuan. Budaya patriarki mulai hilang, ditandai dari semakin banyaknya perempuan yang merambah sektor-sektor pekerjaan yang dulunya diisi oleh laki-laki, seperti industri berat dan perkantoran. Selain itu, perempuan juga mulai memperoleh hak suara, hak pendidikan, dan hak menyuarakan pendapat.

Mulai Terjadinya Pergeseran Makna pada Warna Pink

Pergeseran makna pada warna pink terjadi ketika muncul dominasi warna simbol negara ataupun atribut militer saat Perang Dunia I dan II. Dominasi warna itu dikaitkan dengan sifat-sifat maskulin yang terus ditampilkan, dibentuk, dan diperkuat untuk membangkitkan semangat perjuangan dan nasionalisme.

Di Amerika, warna yang mendominasi adalah warna biru. Warna itu muncul dari warna bendera Amerika Serikat, seragam angkatan laut, dan seragam kerja di dunia industri. Seiring waktu, warna-warna yang berkaitan dengan dunia perang lantas membentuk ulang persepsi laki-laki terhadap warna maskulin.

Ketika itu, perempuan-perempuan modern di awal abad ke-20 mulai banyak menggunakan warna pink sebagai simbol kebebasan. Warna pink yang semula melambangkan keberanian bagi kaum pria, lalu diadaptasi oleh perempuan sebagai simbol keberanian dan keterbukaan. Warna ini bergeser menjadi ekspresi baru yang tidak lagi berasosiasi dengan gender tertentu. Kini lebih menunjukkan sifat-sifat feminin.

Setelah perang dunia kedua, simbol warna untuk laki-laki dan perempuan semakin menunjukkan perubahannya. Kondisi itu terlihat ketika masa kepemimpinan Presiden Dwight Eisenhower di Amerika Serikat, khususnya lewat pengaruh pakaian yang dikenakan oleh Mamie Eisenhower, istri Presiden Dwight. Ibu negara menunjukkan diri di hadapan publik dengan mengenakan gaun-gaun pesta berwarna merah muda.

Sejak saat itu, tren perempuan mengenakan pakaian yang berwarna pink pun semakin berkembang, sementara laki-laki identik dengan warna biru. Budaya tersebut pun telah membentuk konvensi umum.