Periskop.id - Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa kepribadian tertentu tampaknya lebih berhasil dalam urusan asmara atau hubungan keluarga? Sebuah studi psikologi yang melibatkan ribuan orang dewasa dari Australia, Denmark, dan Swedia menemukan bahwa kunci kepuasan dalam hubungan ternyata bekerja secara berbeda antara pria dan wanita.

Dilansir dari PsyPost, temuan yang dipublikasikan dalam Journal of Research in Personality ini mendukung hipotesis bahwa ekspektasi peran gender masih memengaruhi interaksi dalam hubungan, bahkan di masyarakat yang relatif egaliter.

Mengenal Model Big Five

Kepribadian adalah pola konsisten dari pikiran, emosi, dan perilaku seseorang. Studi ini menggunakan kerangka yang paling diterima dalam psikologi, yaitu Model Big Five, yang membagi kepribadian menjadi lima dimensi utama, meliputi:

  1. Extraversion (Ekstroversi): Sifat sosial, berenergi, dan senang mencari stimulasi.
  2. Agreeableness (Keramahan): Kebaikan hati, empati, dan kooperatif.
  3. Conscientiousness (Kehati-hatian): Organisasi, tanggung jawab, dan kemampuan diandalkan.
  4. Openness (Keterbukaan): Imajinasi, rasa ingin tahu, dan preferensi pada hal-hal baru.
  5. Neuroticism (Neurotisisme): Ketidakstabilan emosional, mudah cemas, atau mudah tersinggung.

Studi ini menganalisis data dari 3.780 peserta dewasa, mengukur sifat-sifat Big Five mereka dan tingkat kepuasan mereka terhadap hubungan romantis, keluarga, dan teman.

Pola Relationship yang Berbeda untuk Pria dan Wanita

Hasil studi ini secara jelas memperlihatkan bahwa kepribadian berinteraksi secara berbeda dengan gender dalam memengaruhi status dan kepuasan hubungan. Dalam konteks pembentukan pasangan, pria dengan tingkat ekstroversi yang tinggi memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk berada dalam hubungan romantis yang stabil, sebuah efek yang kurang kuat terlihat pada wanita.

Menariknya, pada pria, tingkat neurotisisme yang tinggi dan juga tingkat keramahan (agreeableness) yang tinggi justru berkorelasi dengan kemungkinan yang lebih rendah untuk memiliki pasangan stabil.

Sebaliknya, pola pada wanita menunjukkan sedikit anomali, di mana tingkat neurotisisme yang tinggi justru berkaitan dengan kemungkinan yang sedikit lebih besar untuk memiliki pasangan, sementara sifat keramahan menunjukkan hubungan netral hingga sedikit positif dalam proses pembentukan pasangan.

Sementara itu, untuk kepuasan dalam hubungan yang sudah terjalin, temuan juga menunjukkan perbedaan yang jelas. Hubungan positif antara ekstraversi dan kepuasan keluarga ditemukan lebih kuat pada pria dibandingkan pada wanita.

Sebaliknya, hubungan antara sifat keramahan (agreeableness) dan kepuasan keluarga justru lebih kuat terlihat pada wanita. Terakhir, pada pasangan yang sudah menjalin hubungan, neurotisisme memiliki efek yang lebih merusak bagi pria. Hubungan antara neurotisisme tinggi dan kepuasan romantis yang lebih rendah ditemukan lebih kuat terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita.

Para penulis mencatat bahwa pola-pola ini relatif konsisten di ketiga negara yang diteliti, yakni Australia, Denmark, dan Swedia, menunjukkan adanya efek gender yang universal dalam hubungan intim.

Penemuan ini menyarankan bahwa ekspektasi peran gender—bahwa pria diharapkan mengambil inisiatif sosial (ekstroversi) dan wanita diharapkan lebih kooperatif (ramah)—masih memainkan peran dalam pembentukan dan dinamika hubungan.